Midnight Madness : Dopplegänger pt. I

This story contains violence, murder and suicide. Just be wise, please!

Hujan tampak lebih deras dari ketinggian, dari ketinggian di lantai sepuluh di apartemenku. Derai rintik air dari langit merangkai irama yang ditera di jendela. Dibubui suara guntur sebagai pengiring. Dihiasi kilat cahaya dari langit kelabu sebagai latar belakang. Pertunjukan orkestra alam yang dibalut suasana kelam. Seolah ini versi lain dari Moonlight Sonata karya Beethoven. Bingkai kaca yang terbenam di dinding itu mempertontonkan pertunjukkan yang kusebut, "epic".


pinterest.com



Cahaya nyaris tenggelam sekitar dua jam lagi dan suasana benar-benar gelap di sini. Sunyi tak ditelan ramainya rintik hujan, karena ia berada di sisi lain dari dunia nyata, pikiranku. Sunyi tak kumaksudkan untuk mengungkapkan kesendirianku karena sebenarnya aku tinggal bersama ibu dan kakak perempuanku. Ibuku sedang pergi keluar berbelanja, sudah hampir dua jam ia belum kembali, kurasa ia terjebak hujan. Kakak perempuanku sedang sibuk bekerja, dia akan kembali ketika petang. Orang-orang selalu bersikap ayahku tidak pernah ada, tapi tidak dengan kami jika kau tanya keberadaannya. Ia berakhir di jalan dan tak pernah kembali, waktu itu juga hujan sedang turun tapi dengan lembut seolah mereka siap mengalirkan DNA di darahnya pulang ke rumah dengan panggilan telepon yang membuat shock. Suara yang memekakan padahal tak terdengar keras, tapi entah kenapa pikiran kami seakan dihantam kaget yang tak kunjung reda. Kami tak pernah sungkan membahas sisa ingatannya, kendati senyum kikuk saling kami utarakan. Biar ku tegaskan bahwa dia pernah hidup.

Aku mengalihkan pandangan dari jendela yang tepat tiga meter dari hadapanku. Menatap layar TV yang tengah menayangkan acara yang aku tidak tahu apa itu karena aku mengganti saluran secara random. Si pria dengan jas yang necis itu menggerakan bibirnya, aku tidak ingin mendengar bahkan memikirkan apa yang ia ucapkan. Aku juga tidak peduli kenapa wanita di sampingnya merespon dengan tertawa—cukup berkutat dengan pikiranku sendiri.

"AAAAA!!!"

Teriakkan yang bersumber dari layar TV itu seketika mengalihkan perhatianku. Tunggu sebentar, apa yang terjadi?! Kamera mengarah ke arah lain secara sembarangan. Seorang pria tak dikenal yang mengenakan topeng berwajah lucu dengan kumis baru saja menerobos masuk, pria itu berdiri tepat di depan kamera membetulkan letak alat perekam itu untuk kembali menangkap gambar di set utama. Ia mundur beberapa langkah, kini tubuhnya yang jangkung tampak terlihat seluruhnya dalam frame.

Seluruhnya dalam frame...
Menampilkan mayat-mayat pembawa acara yang sebelumnya tertawa-tawa, kini mereka tak bernyawa dengan kepala mereka hancur berantakkan dan bercak darah bercipratan kemana-mana. Aku baru menyadari, pria itu menggenggam sebuah kapak di tangan kirinya. Siaran langsung ini menunjukkan pria jangkung itu tengah mengelap benda tajam itu seraya menatap sesekali ke kamera dan mengatakan, "Tidak ada yang lain kecuali kau."

Aku tidak menduga detik-detik berikut akan terjadi, ia mengayunkan kapak besar itu ke dadanya. Pria tak dikenal itu seketika terkulai kehilangan nyawa dengan sisi tajam kapak itu terbenam seluruhnya hingga kurasa membelah jantungnya, darah pun bercucuran keluar dari tubuhnya.

Bzzt!

Siaran itu langsung berhenti, berganti layar yang berisi titik-titik hitam putih yang bergerak secara awut-awutan.

APA YANG BARU SAJA TERJADI?!!!

Aku hilang akal seketika. Sesuatu terasa mengaduk-aduk perutku. Kurasa darahku berdesir lebih cepat karena jantungku memompa dengan kencang persekian detik. Aku membeku berhenti berpikir, hanya kejadian tadi yang terus bergelayut di kepalaku. Peristiwa di detik-detik sebelumnya terus berputar-putar di otakku. Mataku tak hentinya mengingatkan gambar mengerikan tadi, memberikan detailnya tentang isi kepala yang berwarna keabu-abuan, lembek dan berlumuran darah awut-awutan keluar dari cangkangnya, bola mata dengan ekornya yang menggantung keluar, wajah-wajah yang hancur berantakan, rahang yang menganga. Cukup!!!

Aku menutup mata mencoba melupakannya, namun sial setiap aku mengatupkan kelopak mataku gambaran itu semakin jelas saja.

Beberapa detik, waktu tak berderik, paertikel udara membeku, dan suara itu menyelinap di antara jeda tetesan air. Suara langkah itu semakin mendekat bersamaan dengan terkaman yang ragu dan penuh ketakutan itu, beriringan dengan putaran badanku menilik sumber suara. Jarak yang sangat tipis diantara gerakan waktu, akan kusebut apa momen ini?

Mata pisau ini bergetar di depan wajahku, sedangkan tubuhku ditelikung terbenam di sofa. Pemandangan yang tak sampai nalar, membuatku membeku memikirkan apa yang sedang terjadi, aku tak ingin melawan sedangkan aku melihat WAJAHKU SENDIRI!!!

APA YANG SEDANG TERJADI?!!!

Gadis yang menyerangku ini, memiliki wajah yang serupa denganku, tepatnya dia memiliki wajahku, proporsi tubuhku—atau... dia adalah aku?!

Kami saling terbelalak, aku sempat mendengar dia mengumpat. “Siapa kau? Apa yang kau lakukan di rumahku?” ucapnya dengan nada tinggi dipenuhi amarah.

Rumahmu? Tunggu dulu, “Ini rumahku!” Aku menegaskan dengan seluruh tenagaku. Otakku tak dapat berpikir jernih selagi kepalaku menggemakan detak jantungku sendiri, perasaan ngeri membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi terus menggebu-gebu meruntuhkan nyaliku.

“Kau harus mati!” Matanya yang membara sesekali menunjukkan ketakutan yang sama denganku. Kemungkinan terburuk yang ia ucapkan tergantung di ujung mata pisau ini. Perasaan terpojok mengaktifkan ide nekatku, apapun yang terjadi tentu saja aku akan mempertahankan diriku.

Satu tanganku dapat bergerak bebas ketika ia mengangkat pisau itu, aku tidak akan melewatkan kesempatan apapun. Aku menyambar tangannya dengan sabetan yang kuat, pisau itu segera terlempar menjauh ke belakang tubuh manusia tiruanku itu. Perhatiannya yang kacau kumanfaatkan untuk menghajar wajahnya dengan satu tinju dari tangan kananku. Tenaganya benar-benar payah—karena dia adalah aku—sama sepertiku.

Aku segera meraih pisau itu ketika ia sibuk kesakitan dengan hidungnya yang berdarah. Insting untuk menyerang balik membakar gairahku untuk membunuh tiruan ini. Kurasa kaulah yang harus mati. Tidak ada yang lain kecuali aku.

Langkahku yang cepat menuntun tangan ini untuk menusuk lehernya. Ibuku tidak pernah meninggalkan satu pun pisau dapur dalam keadaan tumpul, pasti akan sangat mudah untuk menebas lehernya bukan mencabut pisau ini dari sana. Aku tidak ingin mencabutnya tapi merobek lehernya. Matilah kau dasar tiruan, membunuhmu tidak seberdosa itu. Kuperingatkan kau, “Kau tidak nyata!” Akulah disini satu-satunya yang nyata, tidak ada yang lain kecuali aku!

Darahpun bercipratan ke dinding dan ke tubuhku. Agak aneh melihat diriku mati seperti itu, mengerikan. Ia mulai menggelepar-gelepar seraya mencengkeram lehernya yang menyemburkan darah. Bibirnya bergerak lemah berusaha bicara, tapi yang kudengar hanya suara seperti tercekik.

Bruk!

Aku segera memutar pandanganku ke arah datangnya suara. Mataku yang masih sangat jernih—lagi-lagi—diriku yang lain berdiri dengan mulut ternganga menatap mayat yang serupa dengannya dan aku yang berlumuran darah.

Baiklah, aku sudah melalui satu, tidak akan sulit untuk yang kedua kali. Tubuhku terdiam membiarkannya berlari ke dapur meninggalkan kantung belanja yang ia jatuhkan. Sudah kubilang, ibuku tidak pernah membiarkan pisau di dapur tumpul. Tapi aku akan menikamnya sebelum ia sempat menarik napas untuk berteriak.

Aku menyusulnya dengan melangkahkan kaki hati-hati melewati diriku yang sudah tak bernyawa ini—agak aneh melangkahi mayatku sendiri—dan kubangan darah di lantai yang akhirnya mewarnai telapak kakiku hingga meninggalkan jejak setiap kali aku berjalan menyusul tiruanku yang lain.


to be continued....

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III