Midnight Madness : Distortion
Aku melihat bayangan di dalam pikiranku. Gejala itu menyerang kepalaku lagi. Sesuatu yang kurasa aku tahu, tapi sebenarnya tidak sama sekali. Kupikir aku tahu kelanjutan gambaran itu, yang jelas akan kulihat di dimensi nyata dalam hitungan detik. Cepat.
Setelah aku mengepak barang-barangku, aku akan menilik ponselku, kemudian tahu dia mengirim pesan berisi kalimat “don’t ignore me” dalam tiga...dua...satu...
“Hannah, Gita sudah datang. Kemana kalian mau pergi?” tiba-tiba Ivy masuk, menginterupsi.
Meleset.
“Oh iya,” mulutku menutupi pikiranku yang tengah sibuk; aku menunggunya mengirim pesan perintah menyebalkan yang menyita seluruh perhatianku untuk membiarkannya menjejalkan isi kepalanya ke telingaku, tapi meleset. Menghela nafas. Lupakan. “Aku hanya ingin main keluar. Jalan-jalan...”
“Ayo, kau sudah selesai?” Gadis yang kami bicarakan mengintip ke dalam kamar. Ia masuk begitu saja, ikut nimbrung dan lain sebagainya. Gita memang sahabat dekatku sejak SD, kami seperti saudara, tak masalah jika ia melakukan ini itu. Orang dekat tentu saja begitu, kami begitu, aku juga begitu. Apalagi kami sudah lama tak berjumpa, Ia punya darah keturunan India, jadi dia pulang selama masa SMA-nya ke rumah leluhurnya. Menghabiskan tiga tahun pendidikan menengah atas di sana, menjejalkan bla bla bla dalam kutip “pendidikan” ke dalam otaknya, maksudku itu ‘India’, ini bukan hanya soal ilmu yang ia dapat, bagaimana sistem pendidikan disana? “Aku ingin merasakan pengalaman baru,” ujarnya ketika memutuskan pergi setelah lulus SMP.
“Ayo,” usai ku menenteng ransel kecil berwarna abu-abu andalanku.
“Kita naik vespa-mu kan?” tawarnya, enggan menghabiskan daya motornya sendiri.
“Uhuh,” iya, singkat saja. Benar-benar sifatnya yang tak mau rugi itu, ah itu tak masalah bagiku. Aku hanya sangat menyanjung kebaikannya ketika ia tak punya rasa jengkel apapun padaku saat aku bersikap keterlaluan padanya (tak pernah membalas dendam padaku). I love her. So much.
Kami pun segera berkendara menuju...kemanapun kami ingin berhenti, mampir untuk berkuliner ataupun membeli barang-barang menggiurkan yang menghabiskan isi dompet sia-sia. Tapi aku tak pernah mau menyesalinya, aku hanya membantin, “yeah, sudahlah.”
Tak banyak hal yang bisa kami bicarakan di jalan, lagi pula itu menganggu konsentrasi ketika berkendara, ditambah aku yang mengendalikan kemudi.
Sebuah mobil hitam melintas dari arah berlawanan. Entah kenapa itu sangat menarik perhatian. Gejala itu muncul lagi, kali ini terasa berbeda, tak ada gambaran apapun. Tidak, aku duduk di dalam mobil itu melihat diriku menunggangi vespa ini. Empat orang asing. Aroma pengharum yang hambar. Sebagian tubuhku terasa dingin. Kecepatan diantara lima puluh kilometer perjam. Aku melihat sesuatu yang mengerikan hendak terjadi.
TIIN! TIIIN!!!
Suara klakson itu memindahkan kesadaranku kembali. Kembali menunggangi vespa ini. aku mendengar teriakan Gita di belakangku. Menderam. Kemudian teredam. Tanganku kontan membelokkan setir menghindar. Dari mana mobil hitam itu muncul, kenapa tiba-tiba berada di depan kami. Hantaman itu tak terhindarkan.
Melayang. Gelap.
***
Melodi yang menenangkan itu mengembalikan kesadaranku seiring dentingan nadanya. Alaram berisi pengingat “pergi ke luar kota.” Ini tentang kecelakaan tiga bulan yang lalu, hari ini tanggal 13 November. Ini tentang kecelakaan yang menewaskan sahabat dekatku, aku sebagai orang yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu, hari ini tanggal 13 November urusan pergi ke ibu kota untuk mengurus tragedi itu dari sisi hukum. Ini tentang tragedi yang ku tanggung, bukan pelanggaran hukum yang dilakukan anak di bawah umur, secara teknis umurku cukup untuk bertanggung jawab. Tiga bulan berlalu sangat berat.
Plak!
Ibuku menamparku hari itu. Terbangun di rumah sakit, membaik setelah satu minggu. Keadaanku tak begitu parah, aku hanya mematahkan bahuku. Sedangkan orang lain yang menjadi korban dalam kasusku yang mereka sebut kelalaian dalam berkendara—atau apapun itu—mengalami luka yang serius, dua orang tewas, termasuk sahabatku.
Ibuku menangis tersedu-sedu hari itu, seperti di hari Jum’at sore dengan hujan yang lembut dulu. Nyatanya hari itu bukan hari Jum’at yang kumaksud, tapi Ia menangis dengan segala hal yang menghancurkan hatinya seperti di tanggal 11, hari Jum’at yang kumaksud.
Keluargaku tak perlu menanggung dosaku, jadi kuputuskan pergi dari rumah. Bekerja di sinema, menjual ‘Popular Popcorn’, untuk membiayai hidupku selama tiga bulan terakhir. Tinggal di apartemen kecil seadaanya yang setidaknya sanggup kubayar.
Aku segera bangkit dari ranjang dan berkemas, siap untuk pergi. Untuk sampai ke ibu kota akan memakan waktu setidaknya dua jam, aku harus sampai di sana pada pukul delapan. Mobil tumpangan akan segera sampai.
Menunggu. Tak akan lama. Beberapa menit lagi.
Seperti aku pernah melihat bagian dari hari ini. Mobil hitam yang persis dari tragedi tiga bulan yang lalu, mobil hitam volvo, itu kini berkendara menuju arahku. Kendaraan kuno yang berisi empat orang asing ditambah aku. Tapi kini wajah-wajah itu tak asing lagi bagiku.
Aku menelan ludah sembari melangkah masuk setelah mobil itu berhenti tepat dihadapanku. Kelu. Gambaran-gambaran itu terus berputar di kepalaku. Menghantui hari ini dengan ribuan pertanyaan yang menyerang benakku sendiri.
Kendaraan ini membawaku menjauh dari rumah, mendekat ke jalur itu. Keramaian dan lalu lalang kendaraan yang pernah kulihat.
Denging singkat membawa suara lain yang teredam, gravitasi seperti menarikku erat membuat tubuhku yang kecil terasa berat, tekanan udara berubah entah kenapa hingga terasa menyesakkan dada. Gejala itu muncul lagi. Lembut, menggelitik kepalaku. Mimpi buruk mana lagi yang akan kulalui?
Aku duduk di dalam mobil ini melihat diriku menunggangi vespa itu dari arah berlawanan. Empat orang asing duduk di sekitarku. Aroma pengharum yang hambar. Sebagian tubuhku terasa dingin. Kecepatan diantara lima puluh kilometer perjam.
Aku menangkap sorot matanya yang menatap lurus ke arahku. Teriakan Gita tiba-tiba menderam di telingaku berbarengan dengan suara klakson yang memekakan. Reflek aku mengalihkan pandangan menatap kendaraan di depan.
Aku punya kesempatan! Aku punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya!
Tanganku membelokkan kemudi untuk membawa vespa ini menyusur ke kiri.
Aku duduk di dalam mobil volvo ini lagi. Melihat dua orang gadis terbang menghantam mobil yang kutunggangi. Sopir yang duduk dihadapanku membanting setir dengan kalang kabut membawa mobil ini keluar lintasan. Menerobos pembatas jalan. Terbang melewati tebing.
Melayang. Gelap.
***
“Urgh~” sekujur tubuhku terasa sakit, tangan kiriku mulai pegal karena selang infus (aku segera mengenali sesuatu yang menyusup di bawah kulit tangan kiriku ketika sadar) dan alat bantu pernafasan menusuk hidungku.
Seluruh pandanganku berwarna putih dan menyilaukan. Kemudian dengan segera berubah semakin jelas perlahan. Suara di sekitarku teredam. Tampak ibuku menggerakan bibirnya, terlihat kerut alisnya dan matanya yang berkaca-kaca. Ivy berlari keluar setelah bicara dengan ibu, entah kemana ia. Aku juga melihat dua orang yang tak asing, Gita dan Ibunya. Ia mengenakan pengaman di lehernya. Keadaannya tak terlihat buruk, paling tidak dia masih hidup.
Orang-orang berlalu lalang datang dan pergi, hanya Gita yang masih duduk termangu di sini. “Tanggal berapa sekarang?” tanyaku dengan tenaga yang ada.
Gita menggerakan bibirnya, entah apa yang diucapkannya. “19 November,” ia mendekatkan bibirnya ke telingaku pada akhirnya. Kenapa pendengaranku tak dapat mendengar dengan jelas.
“Apa yang terjadi dengan mobil volvo itu?” aku penasaran dengan orang-orang asing itu.
“Salah satu dari penumpang itu meninggal.” Kenapa ia menundukan kepalanya? “Seorang gadis yang seumuran dengan kita”—segera aku menyusuri ingatanku lagi—“empat penumpan lain dari mobil itu mengalami luka parah. Kecelakaan itu benar-benar mengerikan, Han. Aku bersyukur aku masih hidup.”
Empat orang penumpang lain adalah orang dewasa dengan rentan usia kira-kira tiga puluhan. Hanya aku penumpang perempuan yang cocok dengan sebutan ‘seumuran’ seperti yang Gita gambarkan. Pikiranku dibekukan oleh pernyataan itu, dilelehkan seketika dengan ribuan pertanyaan ‘kenapa?’
Kenapa hari ini tanggal 19 November? “Berapa hari aku tidak sadar?”
“Enam hari.”
Apa yang sebenarnya terjadi?! Waktu seharusnya mundur dan mengubah nasibku di tragedi pertama yang kulihat! Kenapa hari ini tanggal 19 November?! Dimana aku selama tiga bulan terakhir?
Sidangnya?! “Bagaimana dengan sidangnya?”
“Aku menyesal mengatakan ini, Han. Tapi pengadilan memutuskan kau bertanggung jawab atas kematian gadis itu karena kelalaian berkendara atau apapun semacamnya.”
APA YANG SEBENARNYA SEDANG TERJADI?! Gadis yang mati itu...aku? Bagaimana mungkin?! Dan aku harus bertanggung jawab atas kematianku sendiri?!!!
Seharusnya itu tidak perlu! Aku mengorbankan diriku sendiri untuk memperbaiki ini setidaknya keputusan itu harus berubah! Setidaknya aku tak membunuh orang lain selain diriku! Kenapa?!!!
Gita menggerakan bibirnya lagi ketika aku mulai menangis, lagi-lagi tak dapat mendengar apa yang dia ucapkan. “Apa yang kau katakan?! Kenapa aku tak bisa mendengarmu?! Apa yang terjadi padaku?!”
Aku mencoba bangkit dengan menopang tubuhku menggunakan tangan kananku. Mati rasa. Tubuku kembali tergeletak jatuh setelah tanganku terasa tak berfungsi seperti biasanya. Mataku tak hentinya terbelalak mengungkapkan isi pikiranku yang tak percaya menatap tubuh sebelah kananku. DIMANA TANGAN KANANKU?!!!
Apa lagi kali ini? Tertegun. Jantungku berdegup naik turun seiring nafasku yang tak beraturan, otakku carut marut. Lagi-lagi merasakan hal ganjil di tubuhku. Aku juga tak dapat merasakan kakiku?! Kecelakaan itu benar-benar menghancurkanku. Tidak. Tidak. Tidak. Kenapa? Kakiku masih utuh—TIDAK LAGI!—kaki kananku hanya tersisa sebagian—terbalut dengan perban tapi tak bisa digerakan. Otakku tak dapat memerintahkan kakiku untuk bergerak?!
“Tidaak, tidak, kumohon jangan begini!” Kenyataan pahit yang kulihat seolah menusuk jantungku. “TIDAAAK!!!” Tangisku pecah ketika aku tak dapat menahan batinku yang tercabik-cabik. Gita mendekat untuk menenangkanku, mengelilingi tubuhku dengan pelukan.
Kenyataan ini seperti menghempaskanku dari ketinggian. Meremukkan tubuhku, membuatku sesak nafas, menimbulkan pening yang hebat, meluruhkan tenagaku hingga aku tak sanggup kendati itu hanya untuk berkedip. Pikiranku kelu. Tubuhku bergetar.
Gejala itu datang lagi dengan tiba-tiba. Menunjukkan alur waktu dalam putaran yang cepat; penghilatan di dalam mobil, suara klakson dan teriakkan yang teredam berubah menderam, sorot mata itu, denging, cahaya yang menyilaukan, aroma hangat yang aneh.
Melayang. Gelap.
***
Aku melihat bayangan dalam pikiranku. Gejala itu muncul lagi. Menunjukkan gambaran yang tidak aku mengerti. Kupikir aku tahu, tapi sebenarnya tidak sama sekali. Kupikir aku tahu kelanjutan dari gambaran itu, peristiwa yang akan terjadi di dimensi nyata dalam waktu cepat.
Setelah selesai mengepak barang-barangku. Aku akan menilik ponselku dan melihat orang itu mengirim pesan, “don’t ignore me” dalam tiga...dua...satu...
“Hannah, Gita sudah datang. Kemana kalian mau pergi?” Ivy menginterupsi, memecah lamunanku.
“Oh—ya—hanya jalan-jalan...”
“Ayo, kau sudah selesai?” gadis yang kami bicarakan melongok ke dalam kamar.
Drrt! Drrt!
Langkahku terhenti setelah ponselku berdering. Segera melihat pesan yang kuterima dari orang itu. Pesan itu berisi, “Mungkin sebaiknya kau tidak pergi.”
Meleset.
Comments
Post a Comment