Midnight Madness : Compulsion
This story contains violence, murder and suicide. Just be wise, please!
Dingin. Basah. Derai. Air. Darah. Dingin. Dingin?
Perasaan apa ini? Tubuhku membeku menuruti bisikan lain. Aku hanya ingin berdiam diri seperti ini, tak ingin perasaan itu pergi begitu saja. Suara hujan terdengar begitu menenangkan. Dinginnya air seolah mengalir sampai ke batinku. Tak menghiraukan perihnya luka di lengan kananku. Cairan bening itu berubah kemerahan sampai di bawah kakiku.
Aku hanya merasa sangat damai.
Tik...tok...tik...tok...tik—
Sunyi...sunyi...redam...pekak.
“Hannaaah!!”
“Yaa?! Ada apa, Ivy?” kakakku mulai mengusik dari balik pintu. Tak heran, sudah hampir satu jam aku tak keluar dari kamar mandi. Terasa sangat tenang di dalam sini. Derai air meredam suara dari luar. Benar, redam. Tak terdengar apapun selain suara air. Tak ada apapun...
Tak ada apapun?! Kenapa itu baru mengusikku sekarang? Di dalam sini aku tak bisa mendengar atau melihat apa yang terjadi di luar. Dorongan yang memaksa itu kembali meradang di otakku. Kenapa di luar begitu tenang? Apa yang terjadi? Kekhawatiran yang tak masuk akal menyebar, memperburuk pikiran.
Kenapa Ivy tak menjawab? Apa aku tak mendengar dia menjawab? “Ivy?!” Aku memperkeras suaraku berusaha mencapai pendengarannya, “Ivyyy?!!”
Bayangan mengerikan itu muncul di kepala, menunjukkan gambar ruang tengah rumahku yang dibanjiri darah. Mayat ibu dan Ivy. Orang-orang asing bengis yang tak kukenal berdiri di depan pintu kamar mandi, menungguku keluar siap untuk membunuhku. Ini tidak masuk akal. Tidak.
Aku segera mematikan keran air, mendengar lekat-lekat, berusaha menemukan suara lain di tengah kesunyian. Tapi, tak ada yang kudengar, selain suara hujan yang tak bisa ku redam. Terlalu sepi. Ini tidak masuk akal. Tidak!
Bisikan itu menggema dalam kepalaku. Aku harus keluar dan mengecek keadaan.
Aku tahu ini tidak masuk akal. Suara di dalam kepalaku kembali merisak. Bagaimana kalau itu benar terjadi.
“Tidak mungkin!” Suara itu tidak bisa kulawan, karena itu muncul dari pikiranku sendiri.
Aku harus keluar dan mengecek keadaan.
“Ivy!”
Ivy berlari ke arahku setelah ia mendengar aku membanting pintu dengan keras, “Kau baik-baik saja?!”
Syukurlah. Kekhawatiran konyol itu hanya di dalam anganku. “Kenapa kau tidak menjawab?” kutanya ia dengan suara geram.
“Hujannya sangat deras, aku tidak bisa mendengarmu.” Ivy buru-buru bertanya, “Apa kau sudah selesai?”
... aku ingin merendam kepalaku.
Aku pun kembali ke dalam kebisuan. Dimana hanya derai air yang bicara. Bilik sempit berukuran 2x3 yang dibungkus warna putih. Ruang padat tanpa jendela. Terisolasi. Tubuhku terbenam dalam bak mandi yang terisi penuh oleh air. Perasaan itu mengikatku untuk bungkam aku hanya ingin mendekam.
...
Dor!
Tubuhku seketika terperanjat bangkit, merespon suara yang terdengar seperti lesutan senapan. Suara itu terdengar sangat jelas, seolah berada di dalam rumah. Tanpa pikir panjang aku pun keluar memastikan keadaan.
Hidungku mencium udara hangat dengan aroma aneh yang menyelinap diantara suhu ruangan yang normal.
“Bu?”
Hening. Tak ada yang ku dengar selain suara hujan.
Aku masih membeku di depan kamar mandi, tak berani melangkahkan kaki. Sebilah pisau ku ambil dari dapur sebagai alat pertahanan diri. Berjaga-jaga jika ada ancaman yang menghampiri.
Tubuhku bergetar ketika hidungku membaui udara hangat yang semakin tercium aneh. Mataku hanya terpaku menatap penampakan di ruang tengah. Jantungku berdegub sangat kencang. Otakku tak dapat berpikir, rencana perlawanan dengan pisau di genggamanku pun kandas. Ketakutan membelengguku.
Lima manusia berpakaian serba hitam dan bertopeng mengepung Ivy. Kakakku hanya menatapku dengan air mata sembari membungkam mulutnya sendiri. Sementara satu orang menjerat lehernya seraya menodongkan pistol ke kepalanya.
Ibuku sudah terkapar di tengah-tengah kerumunan itu, dibanjiri darahnya sendiri.
Aku hanya mematung menatap pria bertobeng lucu dengan kumis aneh itu. “AAAAA!!!” suara dari tv yang dibiarkan menyala menarik perhatian kami semua. Tampak pria lain yang sama muncul di acara yang sedang ditayangkan, ia menggenggam sebuah kapak di tangan kirinya. Siaran langsung tersebut menunjukkan pria jangkung itu tengah mengelap benda tajam yang ia tenteng sedari tadi seraya menatap sesekali ke kamera dan mengatakan, "Tidak ada yang lain kecuali kau."
Lesutan senapan pun terdengar lagi. Ivy seketika terjatuh tak sadarkan diri. Bersimbah darah di atas karpet cokelat yang berubah menjadi kubangan air yang perlahan meluap membanjiri ruangan.
Dor!
...
Blup! Blup! Blup!
Air menyusup ke dalam pernapasanku. Mencekik hingga terasa membakar dadaku. “Akh! Uhuk! Uhuk!” Aku segera membuka mata dan bangkit dengan gelagapan.
Kulihat lampu di langit-langit masih menyala dengan terang. Kudengar hujan masih mengguyur. Uap air masih mengepul. Dan aku masih terhanyut. Aku hanya berharap bisa berhenti. Sedikit lebih tenang.
Perasaan yang menghimpit pikiran itu tak pernah membiarkan damai singgah. Ia selalu menang menduduki isi kepalaku dan aku selalu menurutinya. Jika tidak, ia akan mengundang tamu lain, kekhawatiran yang tak akan pernah berakhir. Aku hanya berharap bisa berhenti. Sedikit lebih tenang.
Aku menerawang ke dalam air, menatap bayanganku yang masih terkungkung di dalam bathub. Dingin. Bahkan air hangat terasa hambar. Luka yang ku gambar di tangan kananku mulai membiru. Fresh bruises. Memberi cita rasa yang mereka sebut after taste (jika kau minum kopi). Bagiku ini adalah seni, empat titik di telapak tanganku tak cukup, tujuh garis yang ku gambar rapi di sepanjang lengan membuatnya menambah nilai estetis. Bahkan sekarang aku berpikir untuk melubangi telapak tangan kiriku.
Aku duduk lebih dalam ke dalam bathup, membenamkan sebagian kepalaku. Mendengarkan perpaduan hujan dan sunyi membisikan sugestinya padaku.
...
Brak! Brak! Brak!
Suara gaduh kembali membuatku terlonjak kaget. Apalagi sekarang? Suara ketukan yang kasar itu kembali terdengar setelah aku tak kunjung membuka pintu.
Pikiran tak masuk akal itu kembali menyerang otakku. Ibu pasti akan berteriak setelah menggedor pintu sekeras itu. Tapi tidak, tak ada suara. “Bu?!” Aku berusaha memastikan.
Gambaran mengerikan itu kembali menggerayangi pikiranku. Penampakan ruang tengah yang kacau dibanjiri darah, Ibu dan Ivy tergeletak tak bernyawa, orang-orang asing bengis berdiri di depan pintu kamar mandi, menungguku keluar...
Tidak! Tidak mungkin!
Aku segera membuka pintu dengan berani, tanpa pikir panjang—memberi makan akal tololku—tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya pasti baik-baik saja.
Siapa yang harus ku percaya? Mereka di sini! Para pembunuh itu! Mereka berada tepat di depanku! Kini akulah yang memakan sendiri rasa percaya diriku yang konyol. Bisa-bisanya aku melawan rasa khawatirku dan tanpa pikir panjang aku membuka pintu begitu saja tanpa rencana.
Salah satu dari mereka menodongkan pistol ke kepalaku.
Dor!
...
Aku terperanjat bangkit dengan napas terengah-engah dan pening di kepala. Air mata membanjiri pipiku. Pikiranku terasa sangat kacau.
Aku harus keluar dan mengecek keadaan!
Ivy tengah duduk menikmati acara tv sembari menyuapkan kripik kentang ke mulutnya.
“Ivy, apa kau sudah mengunci pintu?” Ia tak menghiraukanku. Matanya hanya terus terpaku menyaksikan pria necis di layar kaca yang berbicara dengan ceria, Ivy ikut tertawa setelah wanita yang berdiri di samping pria itu tertawa.
“Ivy!”
Kakakku segera membalikkan badan. Wajahnya ditutupi topeng aneh berkumis. Ia mengorek pistol di mangkuk kripik yang ia genggam sedari tadi dan mengarahkan senjata api itu ke kepalanya sendiri.
Dor!
Aku hanya membeku tak berdaya ketika Ivy tergeletak setelah meregang nyawanya sendiri. Darah mengalir keluar dengan lancar dari lubang di kepalanya, membanjiri ruang tengah.
"AAAAA!!!" Suara teriakkan dari dalam tv terdengar tepat setelah suara letupan peluru itu. Kulihat seorang pria bertopeng membantai habis orang-orang dari televisi, terlihat seluruhnya dalam frame. Pembawa acara yang sebelumnya tertawa-tawa, kini mereka tak bernyawa dengan kepala mereka hancur berantakkan dan bercak darah bercipratan kemana-mana. Aku baru menyadari, pria itu menggenggam sebuah kapak di tangan kirinya. Siaran langsung ini menunjukkan pria jangkung itu tengah mengelap benda tajam itu seraya menatap sesekali ke kamera dan mengatakan, "Tidak ada yang lain kecuali kau."
Aku segera berlari untuk mengunci semua pintu dan jendela. Menilik setiap kolong di dalam rumah. Memastikan tidak ada orang asing berdiri di balik pintu kamar. Membuka setiap lemari berharap tidak ada orang aneh yang bersembunyi di dalamnya. Kemudian mengulanginya lagi untuk memastikan semuanya benar-benar aman.
Suara langkah terdengar samar-samar diantara deru hujan yang semakin deras. Kemudian diiringi derit pintu, seseorang muncul dari balik kamar ibuku. Manusia bertopeng itu lagi! Ia menarik tanganku ketika aku hendak berlari kabur darinya. Tanpa diberi kesempatan untuk melawan ia segera membidik kepalaku.
...
***
“Hahahahaha!”
Ku dengar suara tawa wanita itu meledak setelah pria yang berpakaian necis itu bicara. Entah candaan macam apa yang ia katakan. Ivy pun ikut terkikik.
Pria pembawa acara itu kembali bicara, ia mengundang tamu lain. Seorang pria bertopeng yang menenteng kapak, berjalan memasuki set utama. Ia adalah pemeran dari karakter film horor terkenal. Pria jangkung itu pun duduk setelah dipersilahkan, kemudian tersenyum ke arah kamera seraya melepas topeng berwajah lucu dengan kumis itu.
Aku melirik ibu yang sedari tadi mondar-mandir di dapur menaruh belanjaannya yang baru ia beli di minimarket hingga menghabiskan waktu berjam-jam. Ibu bilang ia baru bisa pulang setelah hujan reda. Sore ini Ivy juga pulang kerja lebih awal. Kami sempat berebut kamar mandi tadi karena aku berlama-lama di dalam sana.
Ah, aku teringat sesuatu, “Ivy...”
“Hmmm...”
“Apa kau sudah mengunci pintu setelah kau masuk tadi?”
Comments
Post a Comment