Midhight Madness : Inside Out

This story contains violence, murder and suicide. Just be wise, please!

Sebuah fantasi melintas begitu saja, entah datang dari mana, seolah di luar kuasa. Teringat seorang laki-laki, yang tersiksa sepanjang hidupnya. Aku bertemu dengannya dari waktu dan ruang yang ganjil. Blue day. Pertama kalinya aku melihat tatapan segelap matanya. Wajah putih pucat yang memukau. Garis bibir yang murung. Visual ruang hitam dengan ribuan anak tangga dan pintu yang mengantarkan pada padangan tentang dunia dari persepsi bulatan lensa yang terbenam lekat di kepalanya.

Luka dan memar setiap mendengar namanya. Bukan dari sudut pandangku, ia yang terluka dan memar. Mendengar namanya saja teringat betapa tersiksanya ia, teringat luka dan memar di tubuhnya. Menjadi gambaran pertama setiap mendengar namanya. Karya dari pahat tangan ayahnya. Trauma yang menimbulkan memar di kepala.

Ia tak banyak bicara. Jadi, jika ingin tahu aku hanya perlu merasa dan menerka dari mana datangnya. Bidikanku tak pernah meleset. Pria murung ini hanya menatap sebentar tanpa arti dan segera mengalihkan pandangannya ketika tebakanku benar, aku tahu ia tak ingin mengakuinya. Semakin merasa terancam ketika orang-orang mengetahuinya.

Ada badai di dalam kepalanya. Terlalu kompleks untuk menyatakan alasan atau penyebab. Pandangan matanya akan lebih seperti orang tercekat dan ketakutan ketika gejala itu muncul. Ia akan menyabotase dirinya  sendiri untuk mencegah badai itu semakin menjadi. Ketika ia sendiri tak sanggup menahan diri, sesuatu dari luarlah yang menahan bencana itu menggila. Bius dan memar lain, membuatnya hilang sadar untuk menghentikan badai itu mengamuk.

Ding! Dong!
Drrt! Drrt!

Baiklah, ini benar-benar mengganggu, ponselku berdering bersamaan dengan bel pintu. Aku segera beranjak dari depan layar laptopku dan berhenti mengetik cerita yang sedang ku kerjakan. Siapa kira-kira yang mengirim pesan? Ku cek ponselku seraya membuka pintu. Suara laki-laki yang belum sempat ku tengok wajahnya mengucapkan pesan yang sedang ku baca, “don’t ignore me!

Suara yang tak asing itu menarik perhatianku untuk menatapnya. Pesan itu dari orang yang tengah berdiri di hadapanku sekarang, “Ryan?!”

Tatapan mata yang suram, wajah pucat yang memukau, kali ini garis bibirnya tersenyum licik. Tubuhku membeku dihadapannya, jantungku bergetar diserang perasaan kacau. Kenapa ia membuatku takut? Ia selalu berhasil membuatku khawatir dan merasa lemah. Helaan nafasnya saja sanggup mengendalikan pikiranku.

“Jangan lihat ke belakang!”

Aku melanggar ucapannya. Kata ‘jangan’ hanya membuatku semakin ingin mengingkarinya. Menyesal, kata yang bisa menjelaskan setelah melihat antah berantah yang gelap di belakang sana, ruang kelam yang tak terbatas, tak ada apapun kecuali kesunyian. Kini hanya terlihat kusen dan daun pintu di depanku yang berdiri sendiri tanpa pagar di tengah ruang terbuka yang redup dan terasa ganjil. Laki-laki itu menghilang.

“Sudah kubilang, jangan lihat ke belakang,” suranya berhembus di telingaku, lembut dan tak begitu berat. Tangan kirinya merengkuh bahuku dari belakang, sedangkan tangan kanannya...tangan kanannya menodongkan pisau ke leherku. Manis.

Kupastikan ia bertingkah seperti itu untuk mendapat perhatianku. Manis sekali. “Apa yang terjadi, Ryan?”

Ryan tak akan menjawab, aku hanya perlu merasa dan menerka dari mana datangnya. Mataku melirik wajahnya dari samping, mempertahankan posisi yang mengancamku (akan semakin buruk jika melawan). Ia tertunduk, menghela nafas sangat dalam, melirikku sekejap (sekilas aku melihat kesedihan di matanya) kemudian cepat-cepat berpaling dan menyeringai menatap hal lain. Buruk. Pertanda buruk.

Ia mendekatkan mata pisau itu ke leherku, “nothing,” jawabnya seraya menusukkan benda itu perlahan. Ujung tajam pisau itu menyelinap ke dalam jaringan kulitku, tak terlalu dalam, tapi berhasil merobek pembuluh darah hingga membuat cairan merah yang mengalir di dalamnya meluap keluar. Ia menarik garis di leherku dengan pisau itu sedikit demi sedikit, meretas kulitku.

“Aku bisa saja membunuhmu. Kenapa kau tidak melawan?” Ryan melepaskan belenggunya, menatapku lekat-lekat, tangannya menutup luka di leherku untuk menghentikan darah mengucur.

Pertanyaannya benar-benar menggelitik. Aku tak bisa untuk tidak mendengus dan tersenyum.

Usapan lembut di leherku berubah menjadi cengkeraman kuat yang membuatku tersedak, ia mencekikku. “Berhenti berpura-pura di depanku!” suaranya lebih tenang dan dalam tanpa meninggi sedikitpun, tatapan matanya lebih tajam ketika ia naik pitam. Raut mukanya benar-benar jengkel sekarang. Ia membantingku ke lantai, tanpa melepaskan jerat di leherku.

Tubuhku menembus lantai keras yang tiba-tiba berubah menjadi lapisan seperti terbuat dari gelembung. Ruangan berputar. Langit gelap berubah menjadi ketinggian terbatas dengan cahaya lamat-lamat. Udara yang berdebu. Sebuah ruangan di dalam rumah yang megah, desain interior yang klasik. Aku berdiri di tepi lantai mezzanine.

Seorang pria dewasa menatap acuh, “kubilang lompat!” Laki-laki itu menyaku tangannya dan bersandar di dinding, suaranya sangat tenang, “lompat, Ryan!”

Air mata menuruni pipiku begitu saja, entah kenapa.

Ia mendekat, “atau perlu ku bantu?” tiba-tiba ia mendorongku dari sana.

Melayang. Gelap.

Mendadak aku melihat diriku sendiri di ujung tebing di atas sana, perlahan ditelan kegelapan dan menghilang, aku semakin tenggelam, jatuh ke dalam ketiadaan. Genangan air melahapku. Tubuhku yang penuh bekas luka, tubuh laki-laki yang terluka.

Dasar air yang gelap melepaskanku. Jatuh bersamaan seperti hujan yang mengalir deras. Menghempaskanku ke tanah. Lantai yang keras dan dingin. Kembali berdiri di antah berantah, ruang hitam dengan ribuan anak tangga yang berliku dan tak beraturan dan ribuan pintu yang entah menuju kemana. Hanya Ryan yang tahu jalan keluarnya. Dia menghilang dan ingin ditemukan.

Pintu biru dari kayu dengan ukiran sederhana mengantarkanku ke ruangan biru. Sebuah ranjang dengan ukuran yang cukup besar, tali rantai menjuntai dari rangkanya. Dinding yang mulai usang. Kamar yang lebih tampak seperti ruang tahanan.

Awan badai mengisi langit-langit berbatas atap. Menggemakan gemuruh, meneriakkan gusar di benak. Rintik hujan mengalir lembut dalam ruangan, membasahi liang pikiran. Menyingkap dingin dan sendu. Decing mata rantai membelenggu dalam ruang biru. Putus asa. Meretas setiap kailnya. Hujan mulai membanjiri kamar biru ini. Tak ada celah untuk mengikis air pergi. Kesedihan menenggelamkan isinya.

Ryan mencurahkan semuanya (perasaan dan pikirannya ketika ia dikurung dan dirantai) dalam ruangan ini. Semuanya meluap menjadi hujan badai yang menenggelamkan tempat ini. Aku segera mengejar udara ke permukaan, menghirup persediaan ke paru-paruku sebanyak mungkin, siap untuk mencari jalan keluar di dalam air.

Sebuah tuas pintu tertanam di dasar lantai, menyamarkan diri diantara ubin. Cepat-cepat aku menyelam ke bawah sebelum tersedak air. Berusaha menarik pintu itu supaya terbuka, melawan tekanan air. Kuharap ini tidak mematahkan tanganku yang lemah.

Lubang dilantai segera menyedot air dengan cepat, menimbulkan pusaran yang tak kalah kuat untuk menghisabku ke dalam. Kembali melesat ke kegelapan, menempus setiap pintu yang berada di bawah kakiku. Ruangan berputar-putar, tubuhku dalam posisi sembilan puluh derajat melawan keadaan normal. Apakah aku jatuh atau melesat seperti peluru? Yang kulihat ruangan-ruangan inilah yang melawan posisi normalku.

Lagi-lagi aku merasakan perasaan tak karuan yang menyerang batinku. Ryan menjejalkan perasaan yang dideritanya padaku setiap kali aku jatuh menembus pintu dan membuka ingatannya. Duka, sedih, takut, trauma, gelisah, marah, kacau. Hanya itu, terus berulang-ulang.

Gravitasi tiba-tiba menghilang, membuatku melayang, terpaku, memaksaku menatap wajah seorang gadis yang memiliki senyuman ganjil. Tatapannya mati, tak berekspresi. Dia bukan manusia, tubuhnya menghijau, menjalar seperti tanaman rambat, memenuhi ruangan ini dengan sulur dan daun. Benalu. Tidak, ini bukan ruangan biasa. Dindingnya, tampak seperti tumpukan daging yang berdetak dan berdarah.

Gravitasi kembali menarikku ke perjalanan memori. Gadis itu menyambarkan sulurnya, kemudian menjerat tanganku untuk menahanku. Pergelanganku seketika membiru dan kehijauan dengan pembuluh darah mengakar jelas di permukaan kulitku. Sayangnya gravitasi lebih kuat dari belenggunya. Sulur itu segera putus dan terlepas. Sisa benda hijau ditanganku itu ikut terkikis bersama jeritan putus asa gadis itu yang samar-samar menghilang.

Aku jatuh berputar sembilan puluh derajat, menyesuaikan diri di lantai yang ku pijaki. Sebuah pintu yang sangat berbeda dari pintu lainnya berdiri sendiri di hadapanku, hanya satu deret anak tangga menuju tempat ini. Jalur yang memiliki dua daun pintu, dihiasi ukiran klasik dan kait pengetuk berbentuk kepala harimau menganga. Apa yang kali ini Ryan rasakan tentang ingatan di dalamnya? Bagiku pintu ini tanda yang cukup sakral.

Menakjubkan, kata yang dapat menjelaskan ruangan yang benar-benar membingungkan ini. Bahkan di langit-langitnya terdapat pintu-pintu menuju ruangan lain dan satu ruangan sebagai akses seperti aula utama (lagi-lagi lantai mezzanine itu) dengan ratusan pintu penghubung. Suara kakiku menggema, waktu berjalan lebih lambat setiap debamnya.

Sebuah meja kecil menampakan pigura berisi foto, seorang wanita mengenakan gaun pengantin berwarna putih dan seorang pria dengan jas yang necis. Foto pernikahan yang sangat manis, tentu saja. Tanpa pikir panjang aku membanting pigura itu. Waktu berhenti bersamaan bunyi “prak” (ruangan ini tak hentinya membuatku takjub). Kaca pelindungnya berhamburan kemana-mana. Aku pun memungut foto itu dari lantai, sebuah tulisan tertera di balik lembar foto itu, “Ivy Moore dan Jim Cooper”. Oh no, ini foto pernikahan orang tua Ryan.

Tiba-tiba waktu berjalan mundur, mengembalikan pigura itu ke keadaan semula, semua memori di balik pintu pun diputar mundur. Membawaku berjalan ke sekeliling, melewati dinding dan langit-langit, menatap ke setiap pintu yang kulihat, mengirim ingatan buruk yang disebut ‘keluarga’.

Perasaan itu lagi-lagi, kali ini dijejalkan lebih parah padaku. Duka, sedih, takut, trauma, gelisah, marah, kacau. Pukulan, tamparan, sabetan, jeratan, jatuh. Jatuh?! Ingatan pertama yang kudapat dari pikiran Ryan kembali diputar tiba-tiba;

Lompat, Ryan!” suara itu menggema dalam kepalaku. Air mata menuruni pipiku begitu saja, entah kenapa. Ia mendekat dan mendorongku dari sana.

Gelap.

"Wake up, sweetheart!" Suara wanita itu berhembus lembut di telingaku. Aku pun membuka mata menuruti bujukannya.

Bilik biru. Aku bangun di ranjang usang milik Ryan dengan tubuh penuh luka, tubuh laki-laki yang terluka. Suara decing itu terdengar (sangat mengganggu dan menyakiti kepalaku) ketika aku bergerak, tali rantai itu menjerat tanganku. Sendu, mengharap belas kasih dari wanita di depanku. Ia hanya tersenyum, senyuman yang mati bagiku. Ia hanya begitu persekian detik, kemudian henti. Lagi-lagi air mata menuruni pipiku begitu saja, entah kenapa.

Please, Father, don’t!!!” Suara itu muncul, menggema, mengiringi api yang berkobar tiba-tiba, membakar wanita itu. Tubuhnya meleleh seperti terbuat dari plastik.

Seorang laki-laki dalam balutan kulit hitam legam berjalan menembus kobaran api. Laki-laki mengerikan bertanduk seperti dari cabang ranting, menyeringai dengan bengis. Perasaan ngeri itu datang menyerangku setiap kali ia melangkah mendekat. Aku hanya bisa meronta dan ketakutan, jantungku berdegub kencang, pikiranku kacau.

Semakin membunuh mentalku (apapun artinya) ketika laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk meraih leherku. Tubuhku membeku seketika. Aku sudah kesulitan bernapas sebelum ia mencengkeram leherku.

Ia menatap tanganku yang membusuk karena sulur tanaman beberapa waktu lalu. Laki-laki itu memotongnya tanpa basa basi. Darah mengucur dari tanganku yang putus, jerat tali rantai itu ikut terlepas. Aku segera lari keluar dengan kalang kabut menuju pintu dimana aku masuk ke sini pertama kali. House on fire. Kebakaran besar benar-benar melahap rumah ini.

Berhenti. Tangganya menghilang. Tak ada apapun kecuali ruang hampa yang gelap. Laki-laki mengerikan itu menyusulku. Ah aku tak punya pilihan selain melompat.

Melayang di ketinggian tak terbatas. Jatuh melesat ke entah berantah. Tak kunjung mencapai dasar. Tubuhku terbang di udara. Namun aku segera turun perlahan seolah gravitasi melemah ketika seseorang meraih tanganku, tanganku yang putus. Tulang lenganku tumbuh keluar disusul lilitan serat-serat otot , kemudian dibungkus daging dan kulit yang lengkap. Sebelum akhirnya aku menjabat tangannya.

Kami berdiri di ruangan yang remang-remang, pencahayaan hanya dari  luar yang melewati dinding kaca (penampakan normal terlihat disana). Tapi lagi-lagi ada kegelapan merambah dari belakang kami.

I’ve been waiting for you.” Akhirnya aku menemukannya.

Ryan melangkah mendekat, menggenggamkan sebilah pisau ke tanganku seraya memelukku erat, “berhentilah berpura-pura di depanku. Lakukan sesuatu dan buat aku terkesan.”

Apa? Kau ingin aku membunuhmu? Huh, aku tak ingin mengatakan apapun ketika ia bersikap seperti itu. Aku mendongak menatapnya (karena ia benar-benar lebih tinggi dariku), kali ini ia sungguh berani balas menatap pandanganku. Wajahnya yang putih pucat menawan tampak sangat jelas dari sini, ia serupa dengan mahakarya yang sempurna, indah dengan luka yang melengkapinya dari luar dan dalam.  Ia memandangku yang tengah bergeming mengaguminya, sinar matanya menunjukkan rasa putus asa, seperti tercekat dan sedikit ketakutan. Pertanda buruk.

Laki-laki ini menarik tanganku yang masih menggenggam pisau, kemudian menusuk dirinya sendiri, “You’re the one who has to kill me,” Ryan menatapku dengan sendu. Cat merah darah meleleh keluar dari mulutnya, memberi warna merona pada kulitnya yang sangat putih—Oh, tidakAku hanya bisa terdiam lemah, jantungku berdegub agak lebih kencang dari biasanya, suhu tubuhku meninggi tiba-tiba namun telapak kaki dan tanganku lebih dingin.

“Tidak...jangan.”

Ryan menyeringai menang ke arahku, ketika melihat responku. Laki-laki bodoh ini terus menusuk dirinya sendiri seolah tak merasakan apapun.

Perasaan aneh yang tidak kumengerti membuatku bergetar, “hentikan, Ryan!”

Lantai tempat ini segera dibanjiri cairan merah yang mengucur dari luka tusukan di badannya. Ia membalikkan pandanganku, memaksaku menatap ke ujung kegelapan, menatap dirinya yang diikat dan dibungkam disana. “Let’s make it worse,” bisiknya.


Penampakan indah di ujung sudut gelap itu memantraiku, sesuatu di dalam pikiranku hilang dan lepas kendali.

Comments

  1. sehebat-hebatnya raja masih juga menarik pajak dari rakyatnya dengan dalil yang sangat clasic
    rakyat dengan bahagianya memberikanya seolah itu menjadi tanggung jawab dan jalan menuju kenikmatan pangkat kekuasaan, berandai-andai tuhan bisa mengabulkan untuk menghapuskan doktrin-doktin bisu penuh makna menusuk jiwa merusak nirwana merobek-robek hingga ke anak cucu hingga dianggap sebuah tradisi dari tetangga sungguh keegoan yang merata seperti khalayak pada umumnya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III