Midnight Madness : Pandora

This story contains violence and murder. Just be wise, please!

Cuaca tak pernah begitu bersahabat seperti sore ini. Suasana begitu ceria sepeti sinar matahari di cakrawala, menebar jingga yang menstimulan kehangatan di langit senja. Udara di bulan Agustus yang ramah. Orang-orang berlalu lalang sekadar untuk olahraga ringan maupun jalan-jalan dengan orang dekat, kerumunan karyawan yang baru pulang kerja pun memilih untuk berjalan menikmati sore yang cerah, selagi ada. Kegembiraan di taman ujung perempatan pun ikut merayakan cuaca yang jarang ini; kerumunan remaja bersepeda dengan riang, anak-anak tertawa sambil berlarian dan beberapa keluarga berlesehan dan berkumpul diatas rumput hijau yang baru dipangkas.

Tak ada yang bisa kudengar dari luar, sementara aku duduk menikmati matcha latte yang mulai dingin di dalam ruangan seluas dua ratus meter ini, menemani sahabatku yang tengah sibuk mencatat khayalannya. Ia membetulkan letak kacamatanya seraya menghirup minuman yang sama, bedanya ia sudah mengisi gelasnya dua kali. Aromanya yang khas masih melekat di hidungku kendati kepulan uapnya menghilang lima belas menit yang lalu.

Kami suka duduk di dekat jendela seperti ini—kurasa ini dinding dari kaca yang tebal (kurang tepat rasanya menyebut ini jendela karena benda ini begitu besar dan memenuhi tembok)—sehingga aku bisa merekam tingkah orang-orang dungu, mencantumkan mereka sebagai objek dalam ceritaku, sedangkan temanku berdalih mencari inspirasi. Tiba-tiba ia melirikku (aku bisa melihatnya lewat ekor mataku), sementara aku sibuk menatap keluar jendela, ia mendengus dan tersenyum, “Apa yang sedang kau pikirkan, Han?”

Kendati mataku menatap pemandangan mengesankan sore ini, namun pikiranku memikirkan sebuah set di dalam rumah, rumah bergaya victorian yang chic dan mewah sedang dilanda badai api di dalamnya. Aku pun menjawab pertanyaan temanku dengan jujur, “a burning house.”

“Bingkisan untuk Naya Sahin,” seorang pelayan laki-laki berdiri di dekat kami, menginterupsi obrolan dua gadis remaja yang seketika langsung teralihkan. Pelayan itu membawa bungkusan kotak merah, menatap kami bergantian mencari-cari nama tujuan paket kecil itu. Aku mengacuhkannya karena itu bukan milikku.

“Oh itu aku,” benar, Naya Sahin yang disebutkan adalah gadis yang duduk di depanku ini, ia pun menunjukkan dirinya cepat-cepat dan mengambil kotak itu.

“Dari siapa, Nay?” sergahku ketika kotak itu sampai di meja kami.

Ia membolak-balikkan kotak itu mencari jawaban dari pertanyaanku, “Entahlah, tak ada nama pengirimnya.”

Naya bukanlah nama aslinya jika nama itu yang tertera di bingkisannya, itu hanya penggilan dekat dari kami, teman-temannya. Jadi kurasa, itu dari salah satu orang dekatnya. Tapi, siapa? Aku punya firasat yang aneh tentang kotak itu.

Sebuah kotak musik akhirnya bebas dari kurungan kotak merah misterius itu, “Don’t play it!” sebuah kartu ucapan yang berisi larangan aneh pun mengiringi hadiah di tangan Naya. “What the...” roman wajahnya yang manis dibumbui ekspresi kesal kemudian, “Untuk apa ada orang mengirim sebuah kotak musik....tapi.... It doesn’t make sense!

Maybe, somebody just trolling at you,” komentarku seraya memberi senyum mengejek.

Suhu udara turun perlahan mengiringi cahaya yang berkumpul untuk terbenam di barat, kami pun memutuskan pulang sebelum gelap dan melupakan hadiah misterius itu sesaat. Naya kembali menghubungiku setelah pukul delapan, kami tersambung lewat video call. Seperti gadis-gadis normal lainnya, kami banyak ngobrol tentang anak laki-laki, segerombolan gadis lain yang menyebalkan, hal-hal mengganggu di rumah dan lain-lain. Naya tak hentinya bicara ngelantur tentang khayalannya dengan pria idamannya, seseorang dengan nama belakang Foster. “Apa mungkin hadiah itu dari Foster?” sergapnya tiba-tiba. Aku bisa melihat wajahnya yang merona dari layar ponselku.

“Kurasa tidak mungkin. Kau bahkan tak pernah bicara dengannya,” mereka sudah saling kenal lama, tapi tak pernah saling bicara. Apa yang salah dengan mereka berdua?

“Ah masa bodoh, aku akan memutar kotak musiknya.” Aku mendengar suara gemeresak dari seberang saluran, Naya sibuk memutar kunci kotak musik itu. Tampak figur kecil berbentuk gadis balerina berputar, diiringi suara denting tinggi yang menenangkan.

Partikel udara bergetar perlahan, kemudian terasa membeku, dingin, entah datang dari mana tapi sesuatu terasa sangat mengusikku, darahku seolah berhenti mengalir, dadaku sesak, serta kepalaku sakit.

Koneksiku dengan Naya mendadak terputus.

Tekanan udara seperti menghimpit kepalaku kemudian dengan cepat tersapu menjauh. Suara dengung mengiringi keadaan yang berubah normal kembali.

***
“....dan aku mencoba mengotak-atik ponselku, kemudian ponselku meledak begitu saja.”

Suara itu menggema sementara aku terbenam di bawah sadar. Aku melihat Naya duduk di depanku, di sebuah ruangan dengan perapian, kami duduk dengan nyaman di atas karpet berbulu, di kelilingi perabotan yang menyesuaikan interior bernuansa kayu. Ia bicara dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya cemas dan tertekan.

Alunan nada tinggi yang menenangkan kembali membuat detik kelu, udara membeku, dingin merambah, membius ketegangan, menghipnotis pikiran, menjerat napas dan mengendalikan detak jantung seirama dengan frekuensinya.

Waktu telah berhenti, tapi figur balerina itu terus berputar, semuanya membeku, tapi kami terus berjalan, semuanya berpindah dari periode waktu yang salah, hingga waktu terbakar dan bencana datang.

Seorang pria asing berlari ke dalam rumah. Tak ada yang salah dengan tatapan matanya (seperti tatapan seorang yang haus darah) ketika ia bilang harus melakukan ‘ini’ dan langsung menusuk sahabat dekatku hingga ia tak sadarkan diri. Itu terjadi dengan sangat cepat. Laki-laki itu membunuh semua anggota keluarga Sahin tanpa tersisa. Aku tak bisa melakukan apapun, berteriakpun aku hanya menganga tanpa suara, bahkan tanganku tak dapat menjangkau Naya. Seolah aku berada di dimensi lain.

Tekanan udara seperti menghimpit kepalaku kemudian dengan cepat tersapu menjauh. Suara dengung mengiringi keadaan yang berubah normal kembali setelah pria itu membanting kotak musik itu hingga hancur. Waktu pun kembali berdetik.

Aku mengikuti pria itu berlari keluar.

Suara ledakan terdengar di arah timur, diiringi warna kemerahan dan kepulan asap yang menjangkau sampai ke langit sore. Tornado berwarna gelap meliuk-liuk mendekat. Kobaran api di beberapa tempat semakin menjadi. Teriakan-teriakan putus asa pun terdengar setelahnya. Orang-orang berlarian kalang kabut menyelamatkan diri.

Aku melihat sebuah mobil volvo hitam yang terasa tak asing diparkir di seberang, dua buah mobil dari arah berlawanan hilang kendali setelah pria pembunuh itu menyeberang dengan sembarangan, saling bertabrakan, kemudian meledak. Tubuh laki-laki itu pun hancur dan terbakar.

Suara kertakan dari kobaran api itu menggema, perlahan redam, berubah menjadi melodi yang lembut, membimbingku meregangkan ketegangan, menghipnotisku jatuh semakin dalam ke bawah sadar.

Aku melihat seorang pria dari masa yang belum datang mengikat cinta dengan wanita dari masa yang sudah usang. Merusak garis waktu dengan kelahiran si gadis Sahin, ia adalah kepakan sayap kupu-kupu dari masa yang tidak pernah ada. Tapi kini ia lahir dari bencana. Aku melihatnya berjalan mendekat, waktu berputar sangat cepat seiring langkah bayinya menunjukkan perkembangan tubuhnya menjadi gadis belia, kini aku melihat wajah Naya dengan sangat jelas. Ia membawaku berkelana, melihat kejadian lainnya; sebelum salah satu sahabat dekat kami menghilang, sebelum kecelakaan yang membunuhku di masa depan, sebelum Naya memicu berhentinya waktu.

Gejala itu seperti menghantam kepalaku. Denging melahap pendengaranku. Jantungku berpacu dengan cepat, membuat napasku dan suhu tubuhku naik turun tak beraturan.

“....dan aku mencoba mengotak-atik ponselku, kemudian ponselku meledak begitu saja.”

Suara itu menyeretku kembali ke alam sadar.

“Hannah, kau baik-baik saja?”

Kupikir aku tahu kelanjutan gambaran itu, yang jelas akan kulihat di dimensi nyata dalam hitungan detik. “Don’t play it!” aku hanya tak ingin apa yang baru saja kulihat itu benar-benar terjadi.

What?! Hannah kita sudah memainkan kotak musik itu, sejam yang lalu.” Suara Naya terdengar bergetar, raut wajahnya tampak cemas dan tertekan.

Aku segera menilik keluar dari rumah Naya, memastikan semua itu tak terjadi. Seorang laki-laki pembunuh yang kulihat sebelumnya terdiam mematung di seberang jalan. Sebuah mobil volvo hitam diparkir di sekitar perempatan, dua mobil lain yang kulihat akan terbakar sedang melintas sebelum akhirnya berhenti. Orang-orang berdiri kelu di tengah kegiatan mereka, menganga tanpa kata. Seekor burung melayang di udara ketika angin berhenti berhembus sebelum akhirnya membeku.

Sunyi. Terlambat sudah.

“Waktu sudah berhenti dan tidak bisa kembali,” Naya menundukkan kepalanya, ia mulai terisak.

Aku mengambil sebilah pisau dari dapur di rumah Naya, berlari kearah pria yang berdiri di seberang jalan dan menusuk tepat di dadanya, sebelum pria itu membunuh keluarga Sahin.

“HANNAAAH!!!” teriakkan yang tak pernah ingin ku dengar. Suara lengkingan yang mengartikan ‘jangan’ dengan tujuan menahanku atau memohon untuk kubantu dengan segera.

Tubuhku bergetar melihatnya terbakar. Otakku dibekukan oleh perasaan hancur yang tak bisa kujelaskan. Jantungku berdetak sangat kencang. Ditengah sunyi dan berhentinya waktu, bencana lain yang tak sengaja kupicu membakar temanku hidup-hidup yang seharusnya kuselamatkan.

Aku segera berlari mencari sumber air untuk meredakan api yang membakar tubuh Naya. Kakiku membawaku mencari selang air melewati dalam rumahnya menuju halaman belakang.

Seorang laki-laki dewasa berdiri di lorong menghadang jalanku. Ia hanya berdiri diam menatapku lekat-lekat seraya memegang kotak musik itu erat-erat. Tanpa ragu-ragu ia membanting benda keramat itu hingga menjadi serpihan.

Tekanan udara seperti menghimpit kepalaku kemudian dengan cepat tersapu menjauh. Suara dengung mengiringi keadaan yang berubah normal kembali.

Waktu telah kembali berputar.

Sial, aku benar-benar ingin membunuh orang gila ini. Tanpa pikir panjang aku segera menyerangnya, bodohnya aku, aku meninggalkan pisauku tertancap di dada pembunuh itu. Kenapa aku berusaha menyerang pria dewasa dengan tangan kosong?!

Dengan mudahnya pria ini menendang perutku hingga tubuhku terpental menjauh. Punggunggu menghantam dinding dengan keras. Rasa nyeri itu menjalar sampai ke ubun-ubun. Tak berhenti di situ, pria asing yang tak pernah ku kenal ini menelikung tubuhku, kemudian menghantamkan kepalaku ke dinding dengan satu hentakan yang keras hingga aku kehilangan kesadaran.

***



Air mata bergulir turun begitu saja ketika aku bangun. Sesuatu yang jauh terkubur di dalam kini bangkit lagi. Ingatan buruk yang membawa duka, menjejalkan kesedihan dan penyesalan ke dalam batin, mengaduk-aduk isi pikiran dan membuatnya kacau.

Aku pun bangkit dengan sempoyongan, merasakan otot tubuhku yang lemas dan tulang-tulang yang bergemeletuk karena lelah. Pening masih menjangkit kepalaku, dimana membekas darah kering di pelipisnya.

Peristiwa buruk itu menyisakan warna hitam terbakar di dinding, meruntuhkan langit-langit, membawa debu yang mengotori lantai, merapuhkan kayu perabotan dan meninggalkan warna usang yang memenuhi ruangan.

Kotak musik terkutuk itu masih utuh di samping sebuah bingkai foto di atas meja di ujung ruangan. Foto yang berisi gambar sebuah keluarga, seorang ibu, ayah, dan anak gadisnya, keluarga yang bahagia. Tampaknya Naya yang berdiri disana, tersenyum manis ke arah kamera, di samping laki-laki paruh baya yang tak asing. Wajah yang persis dengan pria pembunuh yang ku tikam di seberang jalan dan pria yang sama yang menyerangku.

Aku segera melangkah keluar dan melihat kekacauan di depan mataku; kebakaran di beberapa tempat memberi warna kemerahan dan kepulan asap mengisi langit sore cerah yang berubah kelam, seorang pria terkapar berdarah-darah dengan pisau menancap di dadanya, orang-orang berlalu lalang dalam kepanikan dan tak ada yang memedulikannya, dua mobil meledak dilahap api setelah bertabrakan, suara-suara teriakan melebur dengan kesunyian, membumbui suasana ngeri yang samar.

Aku memutar kunci kotak musik itu sekali lagi.

Waktu menarikku kembali ke putaran hitungan mundur dengan kecepatan penuh. Segala peristiwa yang telah terjadi pun diputar terbalik. Berhenti di hari di mana senja yang cerah menjadi tanda datangnya hadiah pandora.


Comments

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III