Inside Out : Midnight Madness
This story contains violence, murder and suicide. Just be wise, please!
Dia adalah warna yang tidak bisa kujelaskan, spektrum yang tidak pernah kulihat. Gadis yang menganggap dirinya tinggal di realita yang berbeda dari orang kebanyakan. Baginya dunia hanyalah seperti ‘menonton film’ beserta ia ikut drama di dalamnya, dimana tampak luarnya selalu berpura-pura.
Ia menyembunyikan dirinya yang sebenarnya jauh di dalam pikirannya. Hidup di realita gelap yang kacau. Dunia di kepalanya adalah fantasi yang ia bangun dari kenyataan melalui persepsinya, dimana badai tak pernah reda, namun pelangi tak pernah menyingkir dari sana dan dimana cahaya matahari menyatu dengan kegelapan malam.
Luka dan lara adalah sebuah seni baginya. Ia adalah gadis yang memelihara kegelapan...kegelapan sepertiku. Aku bertemu dengannya dari waktu dan ruang yang ganjil. Hari yang suram, a blue day. Pertama kalinya aku melihat tatapan dengan hasrat gelap yang begitu membius, ia terikat untuk membunuhku, menjadikanku objek karya seninya.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Ryan?” Ia menatapku dengan matanya yang selalu tampak pucat karena anemia, kendati kulitnya lebih berwarna dariku, tapi ia tak bisa menyembunyikannya. Ia hanyalah gadis kurus, kecil dan selalu tampak lemah. Tapi kenapa kau terasa begitu berbahaya, Hannah?
“Nothing,” ini jawaban yang selalu kuberikan padanya ketika ia bertanya semacam itu, sedangkan pikiranku sedang memikirkan banyak hal secara acak. Satu kata yang sederhana untuk menjelaskan hal yang rumit.
“Have a drink, it’s chamomile,” ia baru saja menuangkan teh ke cangkir di depanku. Kami duduk saling berhadapan di meja yang cukup panjang, di ruang terbuka yang berkabut, dikelilingi pohon-pohon kering yang lapuk dan membusuk.
Aku menghirup wanginya yang menguap ke udara, membaui aroma asing yang terselip dari sekedar teh kamomil. Hannah meracuni tehnya, “well, I’m in.” Tak sedikitpun aku ragu untuk menenggaknya, jika gadis ini menantangku maka dengan senang hati aku terima.
Aku masih bisa melihat lengkung senyum puas di wajahnya saat racun yang ku tenggak perlahan menyerang jantung dan otakku. Sial, ini lebih menyakitkan dari dugaanku. Sekujur tubuhku kebas dan aku tidak bisa merasakan apapun, seolah darahku membeku. Aku tidak bisa bernafas seperti bagian dalam rongga dadaku terasa mengeras.
“Kau pikir aku meracuni tehmu? Sangat lucu ketika kau berlagak seperti itu tadi,” ia terkikik kecil. Sangat manis.
Aku juga sempat tidak menyangka apa yang dimasukkannya dalam teh itu—“aku tidak meracunimu, Ryan. Aku mengawetkanmu...hidup-hidup.”
Pandanganku perlahan kabur ketika kepalaku terasa seperti terbakar. Kemudian aku kehilangan keseimbangan dan jatuh dari kursi. Hannah pun mendekat membaringkan tubuhku ke pangkuannya. “You’re such a beautiful art,” ucapnya seraya mengusap pipiku. Pandangannya luluh jatuh ke dalam mataku, entah kenapa itu membuat jantungku berdetak lebih kencang. Tepat saat itulah ia menusuk dadaku tanpa ragu. Tak terlalu dalam namun cukup untuk membuka bagian dalam tubuhku.
Suara kertakan tulang yang dipatahkan menggema, Hannah baru saja menyingkirkan tulang dadaku. Tangannya masuk menggenggam jantungku yang masih berdetak dengan lancar, kemudian ia menariknya begitu saja. Gumpalan daging itu masih berdetak kendati sudah terpisah dari tubuhku.
“This is the trophy of love,” Hannah membungkusnya dengan kristal es seraya tersenyum puas. Benda itu tampak lebih berharga di tangannya—dari pada melekat ditubuhku—warna merah gelapnya tampak mengkilap di dalam sana, mengeras indah seperti batu delima. Sedangkan ia mengisi dadaku yang kosong dengan buket bunga mawar. Sulur berdurinya menjalar kedalam tubuhku tumbuh seperti pembuluh darah. Satu detakan kencang menghentakanku. Mengikis sadarku.
Melayang. Gelap.
***
Tangannya mengusap lembut pipiku. Aku hanya terpaku ketika ia membuka celah di antara bibirku kemudian mendekatkan wajahnya yang samar. Terhanyut di setiap tatapan bulatan mata yang sendu itu. Ia membuka mulutnya. Sesuatu seperti bulatan hitam keluar dari sana, kemudian terbang masuk ke dalam tubuhku melalui rongga mulutku.
Ia menghilang, seperti debu terkikis angin.
Sesuatu yang terasa menjijikan dan mengerikan meracuniku, menjalar di dalam tubuhku, menginfeksi otakku dan menggerogoti hatiku. Hannah menjejalkan semua perasaannya padaku.
Aku tak ingin bangun—sugesti yang berlawanan—nyatanya bisikan itu malah membangunkanku.
Tubuhku melayang di antah berantah, di antara langit kemerahan dan tercekik udara hampa yang menyelimuti.
Aku ingin jatuh. Bisikan itu kembali mengutarakan angannya. Suaranya begitu lembut seperti hembusan angin di tengah cuaca hangat, menenangkan pikiranku untuk membiarkan semuanya terjadi.
Biarlah tubuhku terhempas dari ketinggian. Karena kini aku menginginkannya.
Aku ingin mendengar angin meraung-raung seperti nyanyian kematian. Aku ingin merasakan udara di ketinggian mencekik napasku. Aku ingin membiarkan jatuh mengelupas tubuhku dan membawa bebanku pergi. Beban yang dibawa tubuh ini, tubuh gadis mungil yang lemah.
Bayangan Hannah dan ujung tebing itu perlahan ditelan kegelapan dan menghilang.
Byur!
Udara terkikis di permukaan, meninggalkanku setelah melewati perbatasan. Air bah meninggi, melahap tubuhku dalam dingin, gelap dan sunyi.
Aku ingin tenggelam. Suara itu berbisik lirih ditelingaku, menghipnotis pikiranku untuk patuh. Aku mulai hanyut, merasakan ketenangan dalam kegelapan dan suara yang redam oleh air.
Aku ingin tenggelam, merasakan kedamaian. Biarlah air mengisi paru-paruku hingga terasa membakar kepalaku. Biarlah air mengikis tubuhku hingga kulitku membiru. Biarlah aku menghilang menjadi buih dan menyatu dengan lautan. Aku terbenam.
Ching!
Suara desing mata rantai yang saling bergesekan itu membuat dadaku bedegub, membangkitkan adrenalin akibat suara yang mengaktifkan ingatan dari trauma. Tangan, kaki dan leherku sudah terikat ketika aku membuka mata. Aku melihat Hannah tak sadarkan diri terikat di dasar air, tubuhnya membiru seperti mayat. Sebuah gelembung udara keluar dari mulutnya, lagi dan lagi, semakin banyak, kemudian tubuhnya menghilang.
Tiba-tiba sesuatu mendesak keluar dari mulutku. Sebuah gelembung udara. Lagi dan lagi. Terus menerus. Semakin banyak...
***
Lantai basah. Aroma besi. Derai hujan. Derik waktu. Suara napas yang terengah...
Dadaku kembali berdegup setelah mengingatnya. Ingatan itu mengaktifkan kesadaranku. Hari ini Hannah akan mati...lagi.
Aku tersungkur di atas lantai basah oleh kubangan darah. Aroma besi darah segar membubung ke udara, memenuhi ruangan yang penuh dengan mayat-mayat Hannah. Hari ini Hannah tak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Berakhir dengan menghancurkan diri sendiri. Di tengah hari yang kelam diiringi suara derai hujan yang lembut. Derik waktu terdengar menggema di kesunyian, selain yang kudengar hanya suara napas yang terengah.
House become a horrible funeral. Judul macam apa itu yang ia berusaha sampaikan. Gadis ini tak suka seni kebrutalan, tapi yang kulihat di apartemennya adalah hal yang berbeda dari dirinya. Aku melihat mayat gadis yang sama tercabik-cabik, leher yang robek berdarah-darah dan potongan tubuh bertebaran kemana-mana. Mungkin Hannah sudah putus asa.
Aku segera berlari ke arahnya ketika ia berdiri di ujung tebing itu, siap untuk mengakhiri dirinya. “Hannah!” Aku menatap ke dalam matanya, mata yang selalu berhasil memantraiku. Aku selalu mengalihkan pandanganku darinya, tapi tidak kali ini. Aku menikmati tenggelam ke dalam pikirannya yang begitu kacau. Hannah, kau akan menghancurkanku kalau kau mati hari ini, “ini bukan cara untuk mengakhiri semuanya.”
Aku tak mengerti ketika ia selalu bilang, “aku tidak akan bertahan dengan diriku yang seperti itu, jadi kurasa aku membunuhnya.” Matanya selalu berubah jadi lebih gelap setelah itu. Tapi hari ini aku mengerti, setelah ia tersenyum menyeringai padaku dan melirik ke bawah. Mataku ikut menatap ke bawah—menatap tubuh Hannah yang hancur berkeping-keping...
...dan itu juga menghancurkanku.
Ching!
Suara desing itu mengiringi Hannah yang baru saja memutar dimensinya, memindahkanku ke dalam mimpi buruk yang menghantui selama bertahun-tahun. Aku berdiri di ujung lantai mezzanine di dalam rumahku, menatap laki-laki hitam bertanduk rusa yang berdiri di sana. Suara desing itu selalu mengiringi langkahnya dan aku hanya membeku ketika ketakutan menguasaiku.
“Lompat, Ryan!” Ia mendorongku jatuh.
***
Aku diam terkapar, sementara ribuan kupu-kupu aneh yang bercahaya mengerumuni tubuhku yang mulai mati. Kulitku semakin pucat, membuat bekas luka dan pembuluh darah semakin tampak. Kurasa bagian dalam tubuhku mulai terawetkan, aku sudah berhenti berdarah ketika sulur berduri di dalam badanku tumbuh menjalar.
Di atas sana, langit tampak kemerahan dengan lubang gelap yang sangat besar. Sedangkan aku di bawah sini terjebak di dalam labirin yang berisi semua ingatan Hannah. Tempat usang dimana tanaman jalar yang melapukkan dinding tumbuh sumbur, dimana semua kenangan tersimpan di dalam lukisan-lukisan yang menggantung berjajar, dimana jalan pikiran berliku dan kekacauan menyesatkan.
Sebuah lukisan menarik perhatianku untuk mendekat. Gambar abstrak tertera dengan nuansa warna warni, namun hitam dan merah lebih dominan. Disana tertulis 14-0711. Hannah menyampaikan duka yang terselip disana, diantara warna yang menunjukkan kenangan indah lain hingga warna merah tragedi mengubah citra lukisan tersebut.
Tiba-tiba sesuatu terasa mendesak naik dari tenggorokanku. Seekor kupu-kupu bergerak lembut merangkak keluar dari mulutku, kemudian terbang berputar-putar dan pergi mengikuti alur labirin. Aku pun memutuskan membuntuti makhluk kecil itu, namun lelah menjangkitiku hingga tak dapat menyeimbangkan tubuh dan nyaris jatuh, reflek aku pun menyangga ke dinding. Warna hitam menyebar ke tembok perlahan dari telapak tanganku.
Sial!
Kontan aku menjatuhkan diri. Lebih baik begitu, aku tidak bisa menginfeksi pikiran Hannah seperti ini. Tak seperti biasanya ia begitu mudah dipengaruhi. Ini pertanda buruk.
♫♫ ...Paradise is in my soul, and I'm terrified I can't get out
I'm lost in a labyrinth, we are lost in a labyrinth
Please, don't follow... ♫♫
Sebuah senandung lembut menyusup diantara partikel udara, terdengar samar-samar dan sesekali menghilang. Nyanyian itu entah muncul dari mana, sementara aku menemukan Hannah terkapar tak sadarkan diri dalam keadaan terbelenggu tali rantai yang terkait ke lantai. Tidur abadi dengan anggun diatas ranjang bunga-bunga yang mekar. Tangannya menggenggam pisau simetris berwarna perak yang didekatkan ke dadanya. The sleeping beauty. Jika itu Hannah, ia tak mengharapkan kecupan untuk membuat kutukannya musnah. Jadi aku mengambil pisau itu dan menusuk dadanya.
Gadis ini segera membuka mata. Warna hitam kelam perlahan membungkus seluruh bola matanya, sebuah tanduk tumbuh di kepalanya, sayap berbulu putih mengepak dari balik tubuhnya dan sebuah ekor menjuntai mengikuti ujung tulang punggungnya.
Kurasa aku salah, Hannah bukanlah sang putri yang ingin dibangunkan. Ia adalah si naga penjaga. Lalu dimanakah sang putri tidur yang harus ku selamatkan?
Ia bangkit terburu-buru seraya terbang menjauh, namun tubuhnya tertarik tiba-tiba karena jerat di lehernya, “akh!”
Hannah yang malang.
Gadis ini turun perlahan dari mengudara sembari memeluk erat jantung yang terpisah dari tubuh tuannya. Aku segera mengetahui putri tidur yang kucari.
“I’ve been waiting for you,” ucapnya dengan suara bergetar.
Oh benarkah? Aku terkesan.
Hannah terbang mendekat dan mencengkeram leherku, kemudian membanting tubuhku hingga punggungku berkertak. Tanpa basi-basi ia menarik pisau yang masih menancap di dadanya dan menusukku. Berkali-kali. 1, 2,....4....8....
Menjijikan ketika ia mengingatkanku pada Jim Cooper. Ayahku benar-benar menempaku untuk bertahan hidup. Ini tidak akan membunuhku kendati sudah melewati dua belas hitungan. Hannah hanya membuatku getir dengan rasa sakit yang ia hujamkan berkali-kali.
20....
24....
27
Ia menatapku dengan napas terengah-engah seraya menjijing pisau itu ke atas, sekadar mengambil jeda.
“Apa...kau sudah...selesai?” suaraku sesekali tertahan di tenggorokan menahan sakit yang menjalar sampai ke ubun-ubun.
Sial. Ia kembali mengayunkan tangannya hendak menusukku lagi. Aku segera menghentikannya dengan menggenggam pergelangannya, sedikit memutarnya hingga tulangnya berderak dan menarik pisau itu darinya.
Hannah menggeram kesakitan sembari melangkah mundur. Aku segera bangkit dan berlari ke belakang tubuhnya dan menarik rantai yang mengikat lehernya ketika ia kembali mendekat siap menyerang. “Geez, Hannah, bisakah kau tenang sebentar?!” Aku pun menghantamkan kepalanya ke lantai, kemudian menancapkan pisau itu ke tanah menembus bahunya untuk membuatnya berhenti melawan.
Aku tak punya pilihan lain untuk membuatnya tenang. Tanganku segera mencengkeram lehernya, membiarkan warna hitam itu keluar dari telapak tanganku lagi dan kali ini merayapi kulit Hannah.
“Don’t you dare!”
Ia mulai tenang ketika warna hitam menjalar ke sebagian kepalanya. Kurasa ini saatnya, “I really sorry,” aku segera merebut jantung itu dari tangannya dan membantingnya ke tanah. Benda itu hancur berkeping-keping.
“TIIDAAAK!!!”
Saat itu juga bunga mawar yang tumbuh di dalam tubuhku luruh berguguran, mengering dan mati, sedangkan aku—tak ada kata yang bisa menjelaskannya selain ‘mati rasa’. Tak banyak tenaga yang tersisa untukku bergerak.
Api tiba-tiba berkobar melahap semuanya, mengiringi murka Hannah dan tangisnya yang meraung-raung. Sementara tubuhku terkapar tak berdaya.
Hannah melesat ke arahku dengan bersungut-sungut. Gadis ini hendak langsung membunuhku, pasti. Bahkan tanpa ragu tangannya mencekikku kuat-kuat hingga napasku tersekat.
Krrrk!
AAARRRGH! Apa kau akan sungguh-sungguh membunuhku?!
Kalau aku mati hari ini, aku tidak akan meninggalkanmu seperti ini, meninggalkanmu dengan semua kekacauan ini.
“Kau benar-benar orang yang munafik, Hannah.” Mungkin menyulut emosinya bukan hal yang aman untuk membuatnya sadar. Aku tidak peduli, otakku tidak bisa berpikir dua kali. “Selalu berpura-pura. Kau selalu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya. Kau terlalu mengkhawatirkan banyak hal. But, no one gives a shit. That’s the fact.”
“Tutup mulutmu!”
“Untuk apa kau selalu bersikap manis di luar sana sementara kau di dalam sini berjuang mati-matian melawan dirimu sendiri.”
“Shut up...shut up!!”
“But, that’s not the point.”
Hannah tampak terkesiap dan mulai mendengarkan.
“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Bebaskan apa yang di dalam hatimu, berhentilah menyiksa dirimu sendiri. Kau tidak akan tinggal sendiri di realita ini, jadi jujurlah padaku. Kau bebas menunjukkan warnamu yang sebenarnya. Aku akan selalu berada di sisimu, jadi tidak ada yang perlu kau khawatirkan.”
Ia terdiam.
Rintik air turun dengan lembut, menyapu debu dan udara panas. Mensirkulasi suasana dalam tenang. Memadamkan api yang membara. Mengiringi sendu yang berganti perlahan. Hannah bilang hujan ‘kan luruhkan hitam—sama seperti saat ini—ketika tanduk itu runtuh berguguran seperti pasir yang berjatuhan dan menanggalkan seluruh tanda hitam dari batinnya.
Aku bisa melihat matanya yang kecokelatan lagi. Hannah tak menunjukan ekspresi yang bermakna, tapi ia menatapku dalam-dalam. Tatapan yang selalu membuatku tenggelam. Aku tidak akan lagi mengalihkan pandanganku.
Tanganku mengusap pipinya yang lembut dan hangat, ia balas tersenyum getir. “I’ll take all your pain,” ucapku seraya menusuk dadanya, menyeret pisau itu untuk membuka isi dibalik kulit dan tempurung dari tulang rusuknya, kemudian meraih jantungnya. Detaknya terasa di permukaan kulitku, denyutnya mengalir masuk ke pembuluh darahku dan menghilang melewati dadaku yang kosong.
Aku memindahkan benda itu, mengisi luka kosong dihatiku, merasakan seluruh perasaannya meluap ke tubuhku. “Aku yang akan menerima semua rasa sakitmu.”
Hannah hanya menyunggingkan senyum simpul. Senyum termanis dan terlembut yang pernah aku lihat.
![]() |
| Pinterest.com |
Kuulurkan tangan padanya, berharap ia menggenggamnya erat dan tak akan pernah membiarkanku pergi. Walaupun aku tahu, suatu hari Hannah akan sadar dan membunuhku. Benar-benar membunuhku.

That's so beautiful 😢
ReplyDelete