Midnight Madness : Land Of Strange

Aku mencium aroma tanah dan rumput kering diantara udara hangat yang berhembus. Padang perbukitan gersang menghampar di depan mataku. Antah berantah asing yang tak pernah ku jejaki, menghadapkanku pada arah dan tujuan yang tak jelas. Rasanya seperti sudah dua hari aku mengelilingi tempat ini. Namun, yang ku temui hanya hamparan tanah bergolak-golak yang ditumbuhi rumput kecokelatan karena kering. Membuatku berpikir, apakah tempat ini tidak ada ujungnya? Membayangkan ketidakterbatasan mulai membuatku takut.

Langit terlihat begitu bersih, kendati warna biru cerahnya membuatku risi karena tak kulihat matahari diatas sana melainkan sebuah lubang gelap yang besar. Pemandangan yang tak sepadan. Langit senja berwarna oranye atau kemerahan lebih serasi dengan lubang mengerikan itu.

Aku ingat tempat ini, aku membayangkannya sebelum aku tidur. Tempat dimana ada dua orang pria yang tubuhnya terpotong menjadi dua bagian dan lucunya kaki mereka berjalan sendiri tanpa tuan.

Aku pun kembali bergerak, entah kemana tujuanku, yang penting melangkah saja dulu. Untuk beberapa detik merasa tersesat dan sendirian membuatku takut. Perasaan itu sontak membuatku kembali mematung.

Hening. Henti membimbingku untuk berpikir. Aku pun menutup mata, tak membiarkan pemandangan ini menggangguku, merasakan angin bertiup lembut memagut kulitku...

...menyentuh bahuku dan berbisik, “bangun.”

Aku meliriknya. Ia berdiri disampingku. Bola mata berwarna hitam penuh, ekor yang menjuntai, sayap berbulu putih, gadis bertanduk yang mengkopi wajahku itu bicara tanpa menggerakan bibirnya.

***
Aku tahu itu hanya mimpi. Jadi, aku bangun dan mendapati diriku berada di tempat yang asing; ruangan sempit keremangan yang diselimuti udara hangat dan berdebu. Segera ku beranjak dari ranjang biru kumal itu dan berlari keluar.

Tercium aroma tanah dan rumput kering diantara udara hangat yang berhembus. Padang perbukitan gersang menghampar di depan mataku.

Kurasa aku tidur di dalam mimpi. Sadar mendapati lagi pemandangan ini.

Selamat datang kembali.

Lari.

Lari.

LARII!!!

Aku terus berlari. Di tempat tak berujung ini. Tak tahu kemana aku pergi. Sebenarnya, dari siapa aku melarikan diri? Akulah yang menciptakan tempat ini!

Kututup mataku membiarkan hening mendatangkan henti. Memanggil henti membimbingku berpikir. Mendatangkan bayangan menciptakan kenyataan. Jadi, aku mengharapkan ujung jalan. Sebuah jurang.

Langkahku terhenti setelah ujung tempat ini bertemu ketiadaan. Sebuah ngarai tanpa dasar. Aku selalu penasaran, apa rasanya jatuh ke dalam sana?

Di depan mataku adalah cakrawala, pandanganku mengikuti jejaknya sampai ke atas sana. Langit biru terhisap ke dalam lubang gelap itu. Seperti air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah. Terlintas di pikiranku, apa jadinya jika tempat yang kupijaki ini terbalik menjadi atas dan langit yang kulihat itu adalah bawah?

Tiba-tiba tubuhku terasa sangat ringan seperti gravitasi berhenti menarikku ke tanah. Terbang. Pandanganku berubah, tanah gersang itu berada di atas kepalaku dan lubang gelap mengerikan itu berada di bawah kakiku.

Aku jatuh.

Melayang ke dalam kegelapan.

***
Aku tahu itu hanya mimpi. Jadi, kubuka mata dan melihat cahaya kembali. Tapi aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai di sini. Anehnya aku tahu kemana aku pergi. Tentu saja, kami pergi ke rumah keluarga itu. Kami, aku dan Millie, melangkah menyusuri jalan ke sebuah rumah dari keluarga besar yang asing. Kami juga tahu untuk apa, dengan bungkusan kotak merah di tanganku.

Hal yang tidak ku mengerti adalah kenapa aku bisa bersamanya? Bahkan kami bukan teman dekat. Kami hanya teman yang saling tahu nama. Aku yakin benar itu Millie, teman lamaku di taman kanak-kanak, tapi wajahnya bukan wajah Millie.

Tak berapa lama kemudian, kami sampai di tempat tujuan. Seolah kehidupan berpusat di tempat ini. Tak ada orang bernafas selain tinggal di rumah ini. Bahkan angin berputar di sekitar sini. Dunia menjadi begitu sunyi. Dingin dan biru.

Tak butuh waktu lama untuk menunggu setelah membunyikan bel, penghuni rumah segera membukakan pintu. Seakan mereka memang telah menanti kedatangan kami.

“Silakan masuk,” seorang wanita tua mempersilakan kami setelah menerima bungkusan itu. Ia meminta kami menunggu sementara ia mengambilkan hadiah balasan untuk tuan yang mengirimkan bungkusan merah ini. Ya, benar, kami hanya kurir.

Keluarga ini lebih besar dari dugaanku. Seratus orang mungkin tinggal di sini. Beberapa lansia tampak berbincang bersama sembari merajut di balkon yang tak jauh dari tempatku duduk. Anak-anak berlarian kesana kemari bermain permainan dari khayalan mereka. Beberapa remaja tampak berkumpul dan memainkan permainan olahraga di halaman. Sementara para paman dan bibi sibuk dengan kegiatan mereka.

Di rumah ini semuanya terasa lebih hidup. Suara canda-tawa hangat yang ingin kudengar sejak lama. Perbincangan akrab yang ingin kurasakan. Suasana kekeluargaan yang menyenangkan. Sesuatu yang tak akan pernah kurasakan, bahkan aku tak bisa melepas jerat di leherku.

Detik berlalu. Menit terlewati. Satu jam terasa seperti satu hari. Millie mulai tak memerhatikan sikap duduknya, ia lelah menunggu. Gadis ini benar-benar membenamkan tubuhnya ke sofa dengan wajah gusar, “bukankah sebaiknya kita pulang?”

Aku baru saja mengambil nafas hendak bicara namun tiba-tiba seorang gadis kecil berlari dengan riang ke arahku. “Kak, bisakah kau ikut bersamaku?” Mungkin ia menyadari aku memerhatikannya sedari tadi dengan tampang bosan. Ia pun menarik tanganku dan memaksaku mengikutinya.

Aku sempat menengok ke belakang melirik Millie. Ia menangis, cairan hitam itu meleleh dari balik kelopak matanya dan turun mewarnai pipinya. Kendati tak terlihat kesedihan dari ekspresi wajahnya yang membatu. Setiap langkah yang ku ambil membuatku melupakan keberadaannya hingga aku tak lagi mengenal siapa yang duduk di sana. Hingga aku tak lagi melihat siapa yang duduk di sana.

...

Gadis ini menunjuk pria di ujung tangga di ruang keremangan yang senyap. “Ia ingin bertemu denganmu.”

Jadi, aku turun dan menyapanya, “permisi, apa kau mencariku?”

Ia hanya diam membelakangiku.

“Permisi.”

Tekanan udara tiba-tiba menghimpit. Entah kenapa gravitasi terasa membuat tubuhku sangat berat. Suara ramai dari luar pun menjadi redam dan hilang. Kegelapan merambah, seolah membawaku ke dimensi ‘ketiadaan’. Sedangkan gadis yang datang bersamaku membeku, biru dan mati.

Saat itulah aku melihat tubuh pria itu terbakar. Api yang menyala terang itu berkobar di tempatnya berdiri. Ia pun membalikkan badan, berjalan mendekat seperti tak terjadi apa-apa. Cairan yang berwarna kehitaman memenuhi bola matanya hingga meluap keluar.

Otakku gagal mencerna keadaan dan berasumsi bahwa ia diluar kendali dan tak sadarkan diri. Aku masih membeku di tempatku berdiri ketika ia mulai menyerang dan membanting tubuhku ke tanah.

Ia mencekikku seraya merapal kata-kata yang tak ku mengerti. Pandanganku mulai buram dan telingaku pekak. Dadaku terasa sesak dan sangat sakit seperti terdesak. Sesuatu yang tampak serupa dengan asap hitam mengepul keluar dari tubuhku, kemudian terhisap masuk ke mulutnya. He consume me.

Kesadaranku mulai berteriak meminta tolong.

***
Aku tahu itu hanya mimpi. Jadi, aku bangun dan berlari menyelamatkan diri. Tak peduli apa yang tertinggal dan mati. Yang terbenam, hilang dan terhenti. Aku tak ingat lagi. Hanya saja perasaan itu terasa mengusikku, datang dan pergi. Aku tak peduli.

Semuanya tampak baik-baik saja di balik pintu rumahku. Aku pun duduk dan menceritakan segalanya pada ibuku. Tapi, semuanya tampak normal setelah melewati pintu. Ibu hanya tersenyum jenaka dan berlalu.

...hingga telepon berdering, menyampaikan suara elegi di pagi hari-yang-tak-nyata. Kerabat dekat teman lamaku baru saja berpulang. Jadi, aku memutuskan berkunjung untuk memberi dukungan moral. Ada yang terasa ganjil memang. Tapi, aku tak begitu menghiraukannya.

Aku tahu kemana aku pergi.

Selamat datang kembali.

Aku tahu aku tak akan pernah bisa lari.

Langkah kakiku membawaku kembali ke kediaman asing milik keluarga besar itu lagi dan teman lamaku di sekolah dasar, Lisa, merupakan salah satu penghuninya. Aku yakin benar itu Lisa. Tapi, wajah yang kulihat bukanlah wajah Lisa.

Upacara pemakan berjalan tak begitu lancar, mereka masih menunggu kehadiran seorang kerabat yang tinggal jauh dari sini hingga beberapa jam ia baru datang. Ia adalah wanita aneh berperawakan tinggi—sangat tinggi—tubuhnya kurus, kulitnya kecokelatan dan berkerut. Aku melihat bentuk wajahnya yang tampak oval dan sangat panjang di balik kerudung hitamnya yang tipis. Ia tampak menyerupai makhluk luar angkasa seperti di film-film. Otakku bahkan tak berpikir ia seperti manusia.

Aku dan Lisa pun undur diri dari prosesi pemakaman itu setelah diminta mengambil barang peninggalan milik mendiang. Benda itu tersimpan di rumah yang mereka tinggalkan bertahun-tahun lalu, mereka sempat pindah tanpa mengemasi barang-barang. Jadi, kami pun bersepeda ke tempat tujuan.

Rumah besar yang mewah dan tampak tak terurus itu terlihat setelah perjalanan menuruni bukit dan melewati jembatan. Lisa memintaku untuk mengikutinya masuk dan pergi ke lantai dua. Ia tampak agak terdiam setelah sampai di sebuah ruangan.

Aku pun menghampirinya. Tepat saat itulah ekspresi wajahnya berubah membatu dan seluruh bola matanya berubah kehitam.

Sesuatu terasa seperti mengambil alih tubuhku ketika bibirnya mulai menggumamkan kata-kata yang aneh dengan suara yang mengerikan. Darahku seolah membeku, kepalaku terasa sangat berat dan nafasku tersekat. Aku tidak tahu apa ini, tapi aku tidak menyerah dan menutup mata kendati pandanganku mulai buram. Kendati kepalaku terasa seperti mau pecah.

...

Aku tenggelam ke dalam antah berantah yang hampa, mengarungi tempat yang jauh dan gelap. Terdengar gema di jarak yang tak dapat ku prediksi. “Menyerahlah, kau menyakitiku!” suara dari kesadaran Lisa berteriak kesakitan.

Suara itu semakin dekat seakan kita menjadi satu. Terlihat bayanganku melebur, darah mengalir dari luka di tubuhku dan tulang-tulang berkertak hancur.

“Kita akan tamat,” suara itu kembali merintih.

Dia adalah aku. Aku adalah dia. Kami menjadi satu dan merasakan hal yang sama. Menyadari kebinasaan ini tak akan menghasilkan apa-apa, perlawanan pun berakhir menjadi kesepakatan. Kami akan saling melepaskan diri dan tak ada yang saling menyakiti.

Aku pun melayang mendekat ke layar kecil bercahaya yang jauh di atas kepalaku, menjauhi dasar antah berantah yang gelap itu.

...

Kesadaranku kembali dengan keadaan tubuhku yang masih terasa berat dan tertekan. Sedangkan, Lisa tergeletak di depanku. Ia tampak tak sadarkan diri kendati matanya terbuka lebar dan tak berubah. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Tubuhnya tampak hidup tapi kesadarannya mati.

Sialnya aku terikat dengannya. Aku tidak bisa menyakitinya, karena aku juga akan merasakannya, ataupun berpikir untuk kabur dan meninggalkannya. Jadi, “aku akan membawamu pulang.”

Aku pun mengayuh sepeda dengan membawa cangkang manusia kosong itu pulang ke rumahnya. Lisa tak benar-benar ada di sana, terlihat dari tatapan matanya yang kaku.

Sekilas, sesuatu melintas di dalam pikiranku—lingkaran setan yang tak akan pernah putus ini—apakah aku akan terus mengikuti garis alur seperti keledai yang bodoh? Ini tidak akan pernah berakhir jika aku kembali ke sana. Mimpi buruk ini hanya akan terus berputar dan semakin buruk setiap kali aku sadar.

Aku tidak akan kembali ke tempat itu. Persetan dengan semua ini. Tentu saja, aku akan kabur kali ini. Aku akan melarikan diri.

Akan kujatuhkan dia di sini, di jembatan ini. Lagi pula dia sudah mati. Aku pun menikung tajam dengan sedikit menggoyangkan sepeda yang kukendarai. Ia benar-benar lepas, jatuh dan tak berkutik. Aku segera berbelok dan terus mengayuh pedal sepeda tanpa henti. Aku tak peduli lagi.

Langit benar-benar sendu dan biru. Sungai yang kulewati kembali mengalirkan air yang gelap. Jalanan terasa dingin dan basah. Angin berhenti bernafas. Hujan meninggalkan bekas.

***
Aku tahu itu hanya mimpi. Jadi, aku bangun dan mendapati diriku terbangun di tengah danau. Ranjang yang ku tempati mengapung di atas air bah. Ingatanku segera mengenali tempat ini dengan melihat dermaga di tepi danau dan pohon paling asing yang tak tahu harus menyebutnya apa.

Tempat ini merupakan pinggiran kota yang ku sebut Seat Valley. Kota khayalan yang kubuat saat usiaku 14 tahun. Tempat ini dikelilingi bukit, di perbatasan sebelah utara adalah pantai dan aku sekarang berada di tempat favoritku yaitu perbatasan sebelah selatan, sebuah danau. Tempat ini tak pernah jauh dari suasana hujan dan berkabut atau mendung dan dingin, hutan pinus dan cemara, lingkungan yang tak terlalu ramai dan menyenangkan, toko-toko kecil tempat berkumpul untuk sekadar minum teh, sepatu tinggi dan coat panjang, juga jalanan yang basah. Aku merasa seperti di rumah...

...hingga bayanganku di permukaan danau berubah kemudian bangkit dari dasar air. Ia terbang mengepakkan sayap putihnya, mengibaskan ekornya dan menunjukkan tanduknya yang menantang langit. Gadis yang serupa dengan wajahku itu menatap dengan matanya yang kehitaman.

Aku menunggunya melesat mendekat, seolah mengenali diriku sendiri, tak ada ketakutan sedikitpun didalam hatiku untuk menatap keberadaannya. Ia pun mendekat dalam satu kedipan menusuk dadaku.

***
Aku langsung terbangun dari tidurku. Rasa sakit itu terbawa hingga aku sadar, membekas di dadaku, kemudian perlahan hilang. Jantungku berdegub hebat, bahkan nafasku menjadi tak beraturan.

Mataku masih mengenali langit-langit kamarku yang tampak normal, tumpukan buku yang biasanya berantakan di rak dan bangku di sisi ranjang yang berserakan kosmetik milik Ivy diatasnya. Telingaku masih mendengar kesunyian yang wajar di jam 04.00 pagi. Juga, tak ada yang aneh dengan tubuhku ataupun suhu udaranya. Baiklah, kurasa semuanya baik-baik saja.

“Kau mimpi buruk lagi, Han?” Ivy yang masih terbaring di sampingku menyadari sikap anehku.

“Tidak.”

Kuharap aku sudah benar-benar bangun.











Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III