Midnight Madness : Dear Diary

This story contains violence, murder and suicide. Just be wise, please!

Ia terdiam di depanku. Sementara, lubang di kepalanya mengalirkan darah dengan lancar, menuruni pangkal hidungnya, mewarnai kulitnya yang pucat menjadi merona kemerahan. Matanya yang sendu menatapku tanpa arti. Lengkung bibirnya menggambarkan perasaannya yang geram. Pantas saja, karena ia bertaruh untuk bahu kirinya tapi aku malah menembak kepalanya.

Aku tidak tahu apakah peluru itu menembus sampai belakang kepalanya atau malah bersarang di dalam sana. Yang ku tahu pria ini tidak akan mati dengan mudah.

“Apa ada hal lain yang mungkin bisa membunuhmu?”

***
Serat-serat kabut menari diatas danau, merambah sampai ke daratan dan menyelinap diantara celah pepohonan pinus. Rintik air pun ikut turun bergerumun menghiasi suasana mendung diantara angin yang menghembuskan udara dingin. Pemandangan ditambah muram oleh awan badai yang bergerak dengan tenang menghiasi langit senja. Seat Valley adalah kota paling basah di antah berantah ini karena musim penghujan tak pernah absen kendati ramalan cuaca memprediksi akan cerah.

Seorang remaja laki-laki berdiri di sisi lain danau. Ia termangu dengan tatapan nanar seraya menyaku tangannya, mengamankannya dari tikaman hawa dingin. Pikirannya meratapi nasib adik perempuannya yang tengah terbaring di rumah sakit karena tak sengaja ia celakai. Ia tak akan pernah jadi manusia normal lagi seperti empat tahun lalu, batinnya. Bahkan kini pikirannya lebih kacau dari biasanya.

Ia mulai lagi. Bibirnya berkelumit tiba-tiba, kemudian tatapannya berubah tercekat. Tubuhnya berdiri dengan limbung seraya tangannya memegangi kepalanya sendiri. Bocah enam belas tahun itu segera menguasai diri. Ia pun mengambil pisau lipat yang selalu disimpannya, kemudian tanpa pikir panjang menghunuskan benda tajam itu ke dadanya. Jasadnya menghilang seperti debu tertiup angin.

Tubuh bocah yang mati itu kembali terlihat, menyembul dari bawah permukaan air danau, mengambang disamping mayat adik perempuannya dan mayat-mayat orang asing lainnya.

Tapi bagiku mereka bukan orang asing.

“Berapa usiamu waktu itu, Han?” Ryan bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari penampakan yang baru saja dilihatnya.

“Empat belas tahun.”

Melihatku sibuk memberi dorongan pada ayunan yang kutunggangi, ia pun mendekat dan mendorong bahuku dengan lembut.

Ryan tak bicara lagi setelah itu.

“Bagaimana dengan terapimu, Ryan?” aku memutuskan memulai percakapan lebih dulu dengan menanyakan keadaannya.

“Tidak berjalan cukup baik. Dokter yang menanganiku—dia terlalu ikut campur—bahkan dia sendiri sedang dalam pengobatan sekarang.”

That’s ridiculous,” aku sedikit terkekeh, “kurasa dia bukan orang yang profesional, Ryan.”

“Orang bodoh,” ia memberi komentar jahat tentang dokternya sendiri. “Bagaimana denganmu, Han?”

“Ibuku memaksaku, tapi aku tidak mau. Kau tahu kenapa?”

Ryan hanya diam.

“Aku hanya tidak ingin kehilanganmu secepat itu.”

Ia mendengus, “kau hanya membicarakan dirimu sendiri, Hannah. Itu membuatku merasa kehilangan keberadaanku sendiri. Bahkan, kau membuat cerita konyol tentangku.”

Aku tertegun sebentar, memikirkan jawaban yang tepat hingga aku memutuskan untuk menghindarinya, “let’s just quiet and enjoy this...”

Ryan tak bicara lagi setelah itu. Kami pun bungkam dalam diam. Kesunyian mulai merambah, memotong dimensi dan mengacaukan waktu. Ketika udara membeku, pikiran kami bertemu dalam satu frekuensi yang bergetar lebih cepat dari detik. Kemudian, kenyataan kami saling berseberangan dan di sanalah badai yang sama mengamuk di tempat yang berbeda. Aku pun mempadukannya dengan harmoni dalam senandung dan rangkaian nada.

♫♫...And run to them, to them
Full speed ahead
Oh, you are not useless
We are just
Misguided ghosts...♫♫

Tiba-tiba aku mendengar gemercik air. Sebuah kotak kayu mengambang mendekat ke dermaga dari balik kabut. “Sudah datang,” ucapku seraya bangkit dan mengambilnya.

“Apa itu?” Ryan bertanya karena penasaran.

“Hadiah ulang tahun,” aku pun membukanya. Seperti yang kuharapkan.

“Pisau dan revolver?” Ryan mendengus diiringi senyuman yang ia kaitkan di ujung bibir kanannya.

“Kau pilih salah satu!”

“Revolver!” Ryan terlihat tak senang. Tapi tatapan matanya tampak membara.

Apa Ryan bisa membaca pikiranku? “Cool!

“Jadi, apa kita akan bermain russian roulette?” Pandangan matanya berubah mengintimidasi. Apa yang Ryan rencanakan?

“Hampir mirip, tapi bukan.” Aku tidak suka tatapan mata itu. Akan ku pastikan Ryan membayarnya. Jadi, aku mengubah rencana secara spontan. “Peraturannya adalah kau harus menebak apakah silindernya kosong atau berisi peluru. Jika, kosong katakan ‘shoot’, jika berisi katakan ‘do not shoot’. Kita akan bermain lima putaran atau kurang sampai salah satu diantara kita mengatakan ‘do not shoot’ atau tertembak.” Setelah menjelaskan peraturan yang kubuat secara mendadak itu aku kembali melanjutkan, “pertaruhan bebas, seluruh bagian tubuh nilainya sama. Aku bertaruh untuk tangan kiriku.”

“Kalau kau bertaruh untuk tangan kirimu, aku hanya akan bertaruh untuk bahu kiriku.” Ia sempat jeda sebentar, “kau mau mengubah taruhan?”

“Tidak.” Aku memang tidak berencana bermain permainan mematikan seperti russian roulette. That’s insane! Aku hanya ingin melubangi tangan kiriku, Ryan tak akan mau melakukannya dengan sengaja—“karena hari ini hari ulang tahunku, Ryan”—jadi, aku harus menariknya ke dalam permainan ini. Tapi sial, aku tak bisa membaca apa yang ia rencanakan. “So, let’s start!

Masing-masing dari kami memegang satu revolver. Kemudian mengisi silinder dengan satu peluru dan membiarkan lima lubang lainnya kosong, kemudian memutar tabung peluru hingga teracak tanpa satupun dari kami berdua yang tahu.

Aku pun mengankat tangan kiriku dan Ryan menodongkan senjatanya ke sasaran setelah mengokangnya. Begitu juga aku, mengarahkan senjata ditangan kananku ke bahu kirinya.

“Bolehkah aku main digiliran pertama?” Ryan tiba-tiba menawarkan diri menjadi relawan.

Aku penasaran apa yang ia rencanakan, jadi—“ya, tentu.”

Do not shoot!

Permainan berhenti sampai salah satu dari kami mengatakan ‘do not shoot’. “What the hell?!” Apa ia tahu rencanaku? Ryan benar-benar membuatku geram sekarang, “loser!” sia-sia menariknya ke permainan konyol ini. Maksudku, ini hari ulang tahunku, aku hanya ingin merasakan sesuatu. Aku pun mengalihkannya ke rencana lain dengan membahayakan diri untuk mengancamnya dengan mengarahkan moncong sejata ditanganku ke dadaku, “I can shoot myself, then...”

Aku tahu Ryan mudah sekali menyerah karena ia akan kesulitan tawar menawar dengan hal seperti ini.

Shit! Okay, Hannah! Fine! I’m in! Shoot me!

See.

Dengan senang hati dan semangatku yang kembali aku pun membidik bahu kiri Ryan. Ia baik-baik saja yang artinya silindernya kosong.

“Oke, giliranku,” aku tidak akan pernah mengatakan ‘do not shoot’ itulah kenapa aku membuat peraturan ini, “shoot!

Kosong.

Shoot!

Kosong.

Shoot!

Dor!

Oh shit!” Ryan kembali meracau.

Sensasi terbakar yang aneh terasa di telapak tangan kiriku dibarengi cucuran darah yang membanjiri lubang bekas tertembak senjata milik Ryan.

It hurts, thanks. But I’m fine,” aku menahan teriakkanku hingga suaraku terdengar seperti orang tercekik. “Kau mau mengubah taruhan?”

“Apa?! Hannah, permainan sudah berakhir! Aku tahu kau sengaja melakukan ini!”

“Kalau begitu kita mulai lagi dari awal.”

NO!

Aku menyerangnya tanpa aba-aba dengan menembaknya tiga kali tanpa hasil hingga kesempatan terakhirnya yang tentu saja silindernya berisi peluru. Dengan cepat aku mengubah haluan bidikanku ke kepalanya.

Dor!

Ryan hanya tampak sedikit tersentak tanpa mengelak. Ia tak akan pernah mencoba menghindari seranganku, apapun itu.

***
“Kesadaranmu.”

Ya, benar. Sekilas aku bisa melihat ke dalam matanya jika ia enggan membicarakan hal ini.

“Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun dan aku hanya ingin mengingatkanmu kalau itu tidak berarti, karena pada akhirnya kita akan mati.”

Kini aku bisa membaca niatnya, ia mau melakukan ini semua hanya untuk membuatku puas. Aku mendengus dan tersenyum jenaka, “You’re so rude.”

Comments

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III