Midnight Madness : Mementos
Memori adalah warna warni. Setiap spektrum
merefleksikan warna dalam rasa, memberi nuansa dalam suasana. Garisnya mengurai
jejak waktu, mengisi lembar kosong dengan pola ingatan yang rumit. Corak goresan
tintanya membentuk wujud abstrak, mengaktifkan indra. Menimbulkan sinestesia.
Menyentuh jiwa.
Jingga fajar atau senja berpadu dengan merah muda
menyala mengutarakan kehangatan dan cinta. Kedua warna itu menjadi latar
belakang, membaur dan semakin terang dengan ditambah bercak tinta yang lebih
beragam, mengingatkan kenangan masa kecil yang mulai pudar namun masih
menyisakan rasa. Terdengar tawa riang dari warna utama, hijau dan kuning, yang
terpisah dan saling merambah dalam gradasi.
Semua gambaran tak berbentuk itu mengiringi fase baru
yang diungkapkan lewat perpaduan warna-warna dengan kontras yang tajam. Mengutarakan
emosi yang menggebu-gebu, menyairkan sebuah pencarian makna, mempertanyakan
siapa. Keadaan itu sedikit turun skala ketegangannya setelah bercak jejak putih
membisikan waktu-waktu yang tersembunyi dalam coretan biru pekat melankolia dan
abu-abu mati rasa.
Terdengar suara hantaman yang keras diiringi derak
benda terbakar dilahap kobaran api. Pecahan kepedihan meretas, merobek luka dan
mencucurkan darah. Menceritakan ingatan yang dibungkus dalam warna merah
tragedi. Kenangan itu berbaur dengan warna hitam duka.
Kini lukisan itu tampak lebih membutakan, citranya
berubah kelam. Banyak warna tersembunyi dibaliknya yang lebih dari sekadar
kepedihan dan duka.
“Hannah!” Ivy tiba-tiba muncul dan menginterupsi. Ia
hendak mengatakan sesuatu namun perhatiannya segera teralihkan, “wow itu terlihat
sangat dramatis—dan sedih.” Kemudian, cepat-cepat ia mengatakan urusannya,
“cepatlah berkemas! Kita akan pergi satu jam lagi.”
Aku pun segera beranjak dari balkon. Kemudian,
menyimpan lukisan yang kukerjakan sejak tengah malam dan memajangnya di sudut
baca kamar kami. Tak lupa, aku meninggalkan jejak memori lain di lukisan itu
dengan susunan angka ‘14-0711’ di sudut kanan bawah kanvas. Angka-angka itu
bukanlah tanggal hari ini, melainkan judul lukisan itu.
Pagi ini tampak sunyi. Suhu udara juga belum naik.
Cahaya matahari belum menjamah tanah. Gumpalan awan menyelemuti langit dengan
pola yang indah. Semakin hangat pagi ini dengan ditambah aroma sedap yang
menyeruak dari toko roti di sebelah apartemen. Tiba-tiba aku membayangkan hari
itu turun hujan, duduk disana dengan Ryan dan menyantap kue keju dengan kopi
latte. Membayangkan ia menatapku dengan mata sendunya dan menikmati hari yang
dingin bersama.
“Hannah, apa yang kau lakukan disana?! Cepat masuk ke
mobil! Nenek sudah menunggu kita!”
Suara ibu memecah lamunanku, aku pun segera beranjak
dari teras gedung apartemen menuju mobil. Kiranya mereka sudah selesai mengangkut
barang-barang ke bagasi. Kami pun segera berkendara ke kampung halaman, rumah
ayah.
Kami hanya diam sepanjang perjalanan, mengingat
kembali hari ini terasa berat untuk dirayakan. Aku melihat mata ibu tampak
berkaca-kaca, ia berkali-kali menelan ludah menahan tangisnya yang akan pecah.
Dia yang paling sedih diantara kami. Ivy hanya diam duduk disamping ibu yang
fokus di kursi kemudi, ia yang paling diam, kakakku selalu begitu untuk
mengatasi perasaan negatifnya. Sedangkan aku kaku di kursi belakang, terjebak
di antara atmosfir yang tegang.
Kami pun sampai setelah satu jam mendekam dalam mobil
buntut yang ibu sewa. Kampung kecil ini tidak pernah berbeda, selalu menjadi
wilayah paling kering di perbatasan. Rumah-rumah yang sama dengan populasi yang
tidak berubah. Kebanyakan penghuni tempat ini akan migrasi ke kota, kemudian
kembali ketika orang tua mereka mewariskan rumahnya. Satu-satunya akses ke
tempat ini adalah melalui jalur hutan, karena jalan raya yang kami lalui menuju ke luar
kota, sehingga kami meneruskan perjalanan dengan mengambil jalan lain. Sebuah jalur
lurus yang dipenuhi kerilik halus dan dikelilingi rumput kering dan pepohonan
yang jarang.
Nenek dan kakek sedang menunggu di ruang tamu ketika
kami masuk. Ada sedikit kebahagian di hari berkabung ini, kita akhirnya dapat
berkumpul setelah jarang sekali bertemu. Terdengar sedikit ironis.
Dulu kami sering mengunjungi nenek di luar kota ketika
liburan. Ayah bilang supaya aku dan Ivy tidak lupa mengunjungi ayah dan ibu
ketika mereka tua, itu juga mengajarkan kami menghargai waktu bersama keluarga.
Kami tak pernah keberatan, malah sebaliknya hal itu adalah hal yang menyenangkan
yang selalu kami tunggu. Ditambah nenek juga senang memanjakan kami dengan
menyuguhkan kue andalan dari toko kuenya. Aku dan Ivy sering diberi uang jajan
tambahan ketika kami membantu di toko kue nenek. Kadang, kami juga diajak kakek
pergi ke kebun. Ia mengajari kami bagaimana merawat pohon apel dan mengurus
kebun jagung dari hama.
Liburan tak membutuhkan biaya banyak ketika kami
memutuskan menghabiskan waktu bersama. Jika sedang bosan kami sering bermain
permainan papan. Permainan papan adalah pengusir bosan paling ampuh yang tak
pernah lekang oleh waktu dan usia, bahkan ayah tak pernah segan bermain
bersama.
Aku masih ingat aroma kopi di tengah hujan di halaman
belakang di saat saat ayah menghabiskan waktu dan aku duduk dipangkuannya
menemaninya, suara tawa ibu, ayah, dan Ivy ketika kami ngobrol seusai makan
malam dan saat kami berkumpul menonton acara komedi di televisi, atau ekspresi
ayahku ketika aku jatuh saat pertama kali berlajar mengendarai sepeda dan
kehangatan ketika ia memelukku setelah ia menghabiskan waktu yang melelahkan
dengan pekerjaannya.
Hingga semua kenangan itu tenggelam sebagai mimpi
indah. Sekitar enam tahun yang lalu tepat di hari yang sama seperti hari ini,
sore itu hujan turun dengan lembut. Tapi keadaan di rumah kami sedikit kacau,
ibuku dilanda risau karena ayahku belum pulang dari pekerjaannya sedangkan ini
sudah sangat melewati jamnya. Ia bilang ia akan pulang sebelum makan malam.
Tak ada yang bisa kulakukan, umurku masih 14 tahun
waktu itu. Aku hanya duduk dan menonton tv, mengabaikan perasaan negatifku dan
berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi. Ivy juga tidak bisa membantu, ia
tinggal di asrama selama kuliah.
Keadaan semakin kacau setiap menitnya ditambah kami
tidak bisa tenang dan berpikir jernih, dan situasi itu benar-benar pecah ketika
polisi sampai di halaman kami. Ibuku langsung membuka pintu tanpa basa-basi.
Kulihat mereka tak banyak bicara dengan menunjukkan wajah seriusnya dan sedikit
prihatin. Ibuku langsung lemas dan berlutut, air mata membanjiri pipinya. Aku
segera tahu apa yang terjadi, ayah tidak akan pernah pulang. Seluruh keluargaku
berkunjung setelah ibu menutup panggilan dalam satu jam.
Sesaat, semua kenangan seolah terbakar dalam satu detik. Ruang kepalaku
menjadi kosong dan gelap. Aku tidak bisa merasakan perasaan apapun kecuali
membiarkan semuanya berlalu seperti sesuatu yang wajar. Di sisi lain, kejadian
ini terasa sangat memukul pikiranku hingga lepas entah kemana, hanya saja
semuanya berjalan terasa sangat ganjil. Yang ku ingat ayahku baru menelepon dua
jam yang lalu. Kini, hal itu membuatku tenggelam dalam penyesalan teringat apa
yang kulakukan di waktu terakhirnya.
Ingatan itu masih jelas sekali, seolah baru saja terjadi. Waktu itu, aku
baru pulang sekolah dengan perasaan bersungut-sungut, teman-teman sekelasku di
SMP memakiku habis-habisan dan mengunciku di kamar mandi. Tentu saja aku
membalas mereka, kami semua terlibat pertengkaran dan berakhir di ruang
konseling dengan beberapa hukuman. Benar-benar sial!
Telepon berdering ketika aku baru melangkahkan kaki memasuki ruang tamu.
Karena kebetulan tak ada seorang pun di rumah, aku pun segera mengangkat
panggilan itu. Suara ayahku terdengar dari seberang setelahnya, “hallo!”
“Hallo, ayah?”
“Hannah? Bisa kau berikan teleponnya pada ibu? ayah harus bicara dengan
ibumu.” Nada suaranya terdengar agak berbeda, ia lebih lemah lembut dari
biasanya.
“Ibuuu?!!!” aku segera berteriak memanggil ibu, sebagai cara yang tak
memerlukan banyak usaha untuk mencarinya. Namun tak ada jawaban darinya. Tak
banyak pikir, aku segera menyimpulkan, “ibu tidak ada di rumah.”
“Bisakah kau mengeceknya? Ayah benar-benar harus bicara pada ibumu.”
Ia bahkan tak menanyakan bagaimana hari ini, hari yang paling menyebalkan
yang pernah kulalui. Semua orang benar-benar menyebalkan. “Sudah kulakukan dan ibu
tidak ada dirumah.”
“Hannah, ayah hanya menyuruhmu satu hal kecil. Bisakah kau melakukannya
dengan benar?”
Kata-kata ayah cukup menyulut emosi anak remajanya yang labil ini. “Sudah
kubilang ibu tidak ada di rumah! Kenapa ayah tidak percaya padaku?!”
Tiba-tiba ibu muncul dari pintu belakang ketika aku menutup telepon
dengan kasar, “siapa, Han?”
Ah sial! “Kupikir ibu tidak ada di rumah!” Aku masih bicara dengan geram
dan menjawab sekenanya seraya meninggalkan ibu yang berdiri dengan tatapan
bertanya-tanya.
Aku biasa menenggelamkan diri di bak mandi ketika perasaanku kacau atau
marah. Suara air selalu berhasil membuatku lebih tenang. Sialnya itu segera
disusul dengan perasaan menyesal. Kurasa aku harus menelepon ayah segera.
Aku pun mencoba meneleponnya berkali-kali tapi tak ada jawaban hingga
akhirnya aku menyerah. Mungkin ayah dalam perjalanan pulang. Tak apa, lagi pula
aku bisa meminta maaf ketika ia sampai di rumah nanti.
...hingga sesuatu yang tak diduga-duga datang dan aku sadar semuanya
telah terlambat.
Kami segera melaju ke rumah sakit dengan kalang kabut. Suasana
benar-benar berbeda setelah melewati pintu kaca itu. Angin dingin berhembus
membawa aroma yang aneh masuk ke hidungku. Tampak wajah-wajah panik dan
ketakutan dari orang-orang yang berlarian dengan bingung di lobi, beberapa dari
mereka menangis. Telingaku mendengar suara decit roda yang bergesekan dengan
lantai yang bergulir dengan cepat di belakangku. Udara membeku ketika gadis
yang tak asing berpapasan denganku di lorong, gadis yang serahusnya tampak
seusiaku tapi ia terlihat jauh lebih tua. Ekor mataku bergerak membawa tubuhku
mengikuti gadis yang wajahnya tak familiar lagi itu. Namun tiba-tiba seorang
menarik tanganku...
Aku segera berlari mendekat ketika mendengar suara ibu yang menangis histeris.
Ia berlutut di depan jasad ayah. Kurasa gambaran itu tersimpan baik di
ingatanku. Tubuhnya tampak baik-baik saja, tapi riwayat kematian di secarik
kertas meninggalkan tulisan bahwa ayah mendapat banyak fraktur yang fatal
hingga ia tak dapat diselamatkan.
...
Realitaku tidak mampu beradaptasi dengan keadaan yang sedang kuhadapi.
Jadi, otakku mengadaptasi ceritanya sendiri dengan menambah dan mengubah citra
rekaman kejadian di pikiranku. Kemudian, memberi tema dan menyesuaikannya. Di
hari berkabung itu suasanga sangat muram dengan langit yang sangat mendung dan
sedikit hujan. Deru suara guntur menjadi lagu latar belakang adegan ini. Adegan
dimana orang-orang asing menundukkan kepala dan wajah-wajah yang ku kenal
mengangis tersedu-sedu.
Pita rekaman ingatan itu kuberi judul “memento”, dimana aku mengubur
semua kenangan sebelum hari itu bersama di hari pemakaman ayah. Ingatan sebelum
dan sesudahnya seolah adalah refraksi, karena di kemudian hari yang tersisa
hanyalah elegi. Membuatku tahu bagaimana menikmati suasana dramatis dan
melankolis.
Benda itu tersimpan rapi di rak memori di ujung ruangan yang kelam,
bersama ingatan-ingatan baru yang lainnya.
Comments
Post a Comment