Midnight Madness : Silent Season

This story contains violence dan murder. Just be wise, please!

Suara musim panas terdengar dari puisi yang disampaikan Vivaldi melalui gesekan biolanya di telingaku. Terdengar burung-burung bernyanyi dengan ceria di awal musim—permulaan yang manis sekaligus klise—namun, kemudian suasana berubah ketika alunan nada itu memperdengarkan ketegangan hujan badai sebelum musim berganti.

Kendati Vivaldi membisikan nuansa indah dari pemutar musik di ponselku, suasana di luar sini sangatlah berbeda; sunyi membisukan suara kecerian musim panas yang cerah. Aku tak mendengar keramaian hingga bermil-mil jauhnya atau suara orang-orang bicara sekalipun.

Sebelumnya kami tak pernah menghabiskan liburan musim panas di tempat tinggal kami karena ayah selalu mengajak bepergian hingga musim panas usai. Tapi kali ini ibu merencanakan liburan keluarga di tempat terpencil ini, meninggalkan apartemen kami yang nyaman di tengah kota yang ramai dimana semuanya mudah diakses dan banyak tempat untuk menghabiskan waktu yang sia-sia ini.

Sementara aku duduk diatas atap, menikmati udara pagi yang hangat dan kering, sembari menyesap sebatang rokok ditanganku dan memikirkan dua kali apa yang sedang kulakukan. Suara mobil dari kejauhan terdengar memecah sunyi, aku segera tau itu Ivy dan Zac ketika mereka parkir di halaman. Kakakku mengundang tunangannya untuk menghabiskan waktu bersama kami, tentunya ini akan jadi liburan menyenangkan yang aku hindari (aku hanya tidak ingin membuang energi untuk mengenal orang baru).

Aku segera memadamkan puntung rokok itu dan membuangnya sebelum mereka keluar dari mobil dan melihatku. Zac melambaikan tangan menyapa, aku pun balas melakukan hal yang sama ditambah senyuman canggung diiringi anggukan. Sedangkan Ivy menatapku tajam, memberiku isyarat dari matanya yang mengatakan, “bersikap sopanlah dan cepat turun dari sana!”

Baiklah, sambutan hangat segera siap!

Aku pun turun ke halaman dengan senyuman ramah yang kupaksakan. “Hai, Zac, apa kabar?”

“luar biasa,” jawabnya dilebih-lebihkan. Aku tahu Zac punya masalah yang sama tentang bergaul dengan orang baru. Ia hanya pria baik yang canggung.

Sementara mereka kembali mengobrol dengan nenek dan ibu, aku akhirnya melihat beberapa penduduk lokal di jalan. Mereka membawa sebuah hiasan dari anyaman berukuran besar dengan tulisan “Silent Festival”. Kurasa itu alasannya kenapa disini sangat tenang. Festival aneh yang belum pernah ku dengar.

Ibu dan nenek segera mendekat ketika melihat sesuatu yang menarik penglihatan mereka. Kulihat nenek berusaha menyapa tapi mereka hanya menatap dengan ramah dan pergi tanpa berkata-kata.



***
“...”
“...”

Aroma daging asap, campuran sup dan makanan berlemak lainnya menyeruak ke udara, mengisi langit-langit malam yang menggemakan suara obrolan dan candaan kami—kecuali aku. Tubuhku terdiam disini sedangkan aku—entah pergi kemana—seperti aku bukan bagian dari dimensi ini, seolah aku bukan berasal dari sini. Sesaat semuanya terasa asing.

Mataku menatap kuah sup yang berputar di dalam mangkuk yang sudah ku aduk-aduk tanpa sempat mencicipinya. Namun otakku menerjemahkan hal yang berbeda, yang kulihat adalah pusaran air yang besar dan aku tenggelam di dalamnya.

“Hannah...” suara itu menyadarkanku sesaat, namun segera pudar seolah ditiup angin badai yang kencang.

Mataku menyapu pemandangan di sudut ruangan yang jauh dibawah cahaya keremangan, kulihat Ibu menatapku sembari mengatakan sesuatu yang tak bisa ku dengar, sementara Ivy duduk disampingnya seraya asik mengobrol dengan Zac. Sedangkan nenek dan kakek tersenyum hangat sambil menyantap makanannya. Wajah-wajah itu perlahan berpaling, kembali bicara, kemudian sedikit terkekeh dan bicara lagi.

Suara mereka redam diluar atmosfir dimensiku. Kata-kata ringan mereka tak dapat melalui cuaca ekstrem dari pikiran-pikiran di dalam kepalaku.

Aku merasa terjerat pada sesuatu yang tidak bisa ku jelaskan. Jantungku berdegub lebih cepat tiba-tiba dan sesuatu yang aneh terasa di perutku. Tubuhku terasa tenggelam dan ditarik ke bawah lantai.

Reflek aku berdiri tiba-tiba sebelum mereka melihatku pingsan tanpa sebab dan mengacaukan makan malam, “aku mau keluar sebentar.”

 Aku segera berlari keluar, menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya dengan teratur. Mataku menatap langit malam yang cerah, memberi stimulan otakku untuk tenang, sementara tanganku meremas sebatang rokok di dalam saku celanaku seraya memikirkan dua kali apa yang akan kulakukan.

Dua puluh menit berlalu dan aku masih duduk di beranda, mencoba menangkap suara aneh dari kejauhan dan berspekulasi. Aku harap aku tak berhalusinasi.

Suara pintu pun berderit ketika Zac keluar, ia berjalan lurus tanpa menghiraukanku sembari menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. “Rokok?” ia berbalik setelah menyalakan sebatang rokok dan menawarkannya.

“Tidak, terimakasih.” Aku sudah berpikir dua kali.

Ia kembali berbalik membelakangiku. “Aku melihatmu merokok di atap tadi pagi.”

Sial. “Apa Ivy juga tahu?”

“Entahlah, dia tidak membicarakannya sama sekali.”

“Jangan katakan padanya!”

“Bukan urusanku.”

Ternyata Zac orangnya lebih santai dari dugaanku.

“Apa kau mendengar itu?” Tanyanya tiba-tiba.

Kurasa Ia juga mendengar suara aneh itu. Suara yang terdengar seperti ratapan itu semakin jelas, setiap rumah mengumandangkan nyanyian yang sama. Kemudian segerombolan orang dengan kostum mengerikan berhamburan entah muncul dari mana. Mungkin ini bagian dari acara festival aneh itu.

Seseorang yang berbadan sangat tinggi dengan topi kerucut tiba-tiba berdiri di depan halaman, menatap kami yang mematung di teras menonton mereka. Lalu, disusul oleh seseorang pria dengan bentuk kepala yang panjang dengan wajah yang menciut. Satu persatu dari mereka berbaris di halaman, menatap aku dan Zac. Senyap, mematung tanpa melakukan apapun.


pinterest.com

“Isaac! Tolong!” Ibu berteriak memanggil Zac, keributan terdengar dari dalam rumah.

Kami mendapati Ivy mematung dengan tatapan kosong, tubuhnya sedingin es, ia hanya diam ketika ibu mengguncang tubuhnya dengan kencang. Ivy terlihat sangat tenang, bahkan aku ragu kalau ia bernafas.

Dengan sigap Zac segera membopong Ivy dan membaringkannya di ranjang. Kami mengawasinya semalaman, tapi kami tak melihatnya tidur atau bahkan berkedip. Ivy benar-benar membeku seperti patung hingga ibu mulai putus asa dan memutuskan untuk membawa Ivy ke rumah sakit keesokan harinya.

Namun sesuatu yang aneh terjadi sebelum kami sempat membawa Ivy pergi. Aku melihat Zac berjalan keluar di pagi ini, ia bilang ia akan menyiapkan mobilnya terlebih dahulu sebelum berkendara ke rumah sakit karena mesinnya sesekali agak bermasalah. Semuanya tampak normal seperti biasa. Lingkungan sekitar sunyi seperti hari-hari sebelumnya dan Zac tampak masih berdiri dengan sadar. Sebelum akhirnya ia bicara dengan seorang pria asing yang muncul entah dari mana. Zac tiba-tiba membungkuk, berlutut, berdiri kembali sembari menatap langit. Kemudian melangkah pergi tanpa menghiraukan apapun, kendati aku mencoba memanggilnya berkali-kali.

“Zaa—!”

“Diam atau mereka akan menemukanmu...” Ivy tiba-tiba berdiri dan membekam mulutku.

“Mereka siapa?” tanyaku tak mengerti maksud ucapannya.

Ivy menggeleng lalu mendongak menatap langit-langit, hingga akhirnya ia jatuh pingsan secara tiba-tiba.

“Ibuuuu!!”

***
Aku berusaha mencari Zac setelah beberapa jam meredam kepanikan karena Ivy. Kupikir aku tidak perlu mengkhawatirkannya, ia pria dewasa yang bisa menjaga dirinya sendiri. Seharusnya aku berada di rumah dan menjaga kakakku. Tidak mungkin ada hal buruk yang akan menimpa Zac, walaupun beberapa waktu yang lalu ia bersikap aneh. Hal itu tiba-tiba mulai membuatku sangsi, aku pun berusaha menyingkirkan kemungkinan terburuk yang bergelayut di pikiranku.

Ingatanku membimbingku mengikuti jejak Zac yang menghilang tepat setelah melewati kebun pinus di pintu masuk desa. Namun, aku masih belum dapat menemukannya. Kakiku pun melangkah semakin jauh ke dalam hutan.

Tiba-tiba aku mendengar sesuatu menyusup di kesunyian; suara langkah yang diseret, kertakan dan decakan benda yang lembab dan basah. Tampak tiga orang pria berkumpul tanpa bicara dan berkoordinasi hanya dengan tatapan mata, tengah menguliti buruannya.

Nafasku seketika tercekat, tubuhku membeku dan pikiranku dikuasai ketakutan—itu bukan sekedar buruan. Aku pun berusaha menutup mulutku, memaksa diri menghentikan suplai udara ke paru-paru berharap tiga pria itu tidak menyadari sedikitpun hawa keberadaanku yang bersembunyi di balik semak-semak dimana aku sedang menahan mataku untuk tidak berkedip dan memacu otakku untuk berpikir jernih.

Aku melihat wajah Zac yang membiru dengan sangat jelas. Tubuhnya dipajang di atas batu dan dikaitkan ke tiang. Mereka mengeluarkan jantungnya tanpa memotong pembuluh darahnya dan meletakkannya di kedua tangan Zac sendiri, membuatnya seolah ia sedang menyerahkan organ tubuhnya itu. Tiga pria bengis itu juga mencongkel matanya keluar dan ditempatkan di antara rahangnya. Mereka menyematkan tanaman jalar ke dalam rongga perut Zac yang sudah dikeluarkan isinya.

Tubuhku masih kelu di tempat persembunyianku sampai mereka pergi dan tak terlihat lagi. Aku tak sanggup lagi berdiri, energiku terasa terkuras habis untuk mencerna kejadian yang baru saja kulihat.

***
Matahari sudah tenggelam dibawah kaki langit beberapa menit yang lalu. Sedangkan aku masih berjalan dengan gemetar menuju rumah dengan beberapa orang aneh dari festival berlalu lalang mengikutiku setelah melewati pintu masuk desa. Beberapa dari mereka yang sebelumnya berkeliling tanpa arah pun membuntuti di belakang, berjalan menyesuaikan irama langkahku yang semakin cepat.

Tanpa menghiraukan gerombolan orang aneh itu aku segera berlari dengan cepat ke dalam rumah dan mengunci pintu.

Mereka berhenti di depan halaman seraya memandang rumah ini tanpa bosan seperti kemarin malam. Orang-orang ini tampak semakin mengerikan ditambah dengan penampakan kostum mereka yang sangat menggaggu pikiran.

“Ibuuuu?!!!”

“Neeek?!”

Aku tak dapat menemukan siapapun di dalam rumah setelah mondar-mandir dengan perasaan panik dan putus asa. Hingga aku mendapati seseorang di basement tengah mengotak-atik perkakas kebun milik ayah.

“Oh, kau sudah di rumah, Hannah...” kiranya ia menyadari aku juga ada di sana.

Mataku segera mengenali sosok itu, “apa yang sedang kakek lakukan di sini?”

Terasa aura yang ganjil dari tatapan matanya yang asing. “Aku sedang menunggumu, cucuku sayang...” ucapnya seraya mengangkat garpu rumput dan melesatkannya ke arahku.

Reflek, aku segera melompat menjauh dari sana.

Apa baru saja kakek berusaha membunuhkku? Apa orang-orang di sini mulai jadi tidak waras? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?!!!

Bunyi kegaduhan dari suara debam dan kelontang garpu rumput yang jatuh ke lantai pun agaknya tak cukup untuk mengundang ibu dan yang lainnya keluar.

Tak pikir panjang lagi, aku segera berlari kalang kabut naik ke lantai atas. Kakek tak membiarkanku begitu saja, ia berusaha menangkapku dan melayangkan sebatang linggis ke arahku. Benda itu berhasil mengenai kakiku hingga tubuhku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai dengan keras.

Ia berhasil menelikungku dan mencengkeram leherku kuat-kuat. Sementara aku tengah memikirkan siasat menyelamatkan diri, ekor mataku melihat kesempatan. Cepat-cepat kuulurkan tanganku meraih linggis yang terlempar tadi. Kemudian ku ayunkan benda itu ke kepalanya dengan tidak terlalu keras—aku tidak berencana untuk membunuh pria tua ini, apalagi keluargaku sendiri. 

Reflek ia melepaskan tanggannya dan menghiraukan urusannya sendiri untuk meredam rasa sakit di kepalanya. Aku pun memanfaatkan kesempatan untuk kabur. Namun sial, ia tak pernah lengah, dalam hitungan detik hal itu segera berubah menjadi bencana. Ia berhasil meraih kakiku lagi dan membekukku ke lantai.

Seseorang tiba-tiba masuk dari pintu depan, mengambil sebuah payung dengan sigap, dan menyambar kepala kakek dengan kuat hingga ia jatuh tak sadarkan diri.

“Ya Tuhan, Hannah! Apa kau baik-baik saja?” Ibu berlari ke arahku dan memelukku dengan erat.

Tangisku pecah seketika.

***
“Kita harus pulang, bu! Sekarang!”

Aku mulai putus asa menghadapi ini semua, yang kupikirkan hanya kabur dan meninggalkan apapun masalah di tempat ini.

“Kita harus tinggal dan mengurus masalah Zac. Kita akan melaporkannya besok pagi.” Ucap ibuku setelah aku bercerita panjang lebar tentang apa yang terjadi pada Zac.

Kurasa ibu mulai bersikap aneh. Ia memintaku untuk menunggu sampai besok pagi?! Yang benar saja! Apa ia bahkan peduli jika tunangan anaknya mati mengenaskan di luar sana? Mungkin ia akan sadar ketika kita jadi korban selanjutnya!

“Tempat ini dipenuhi orang-orang aneh yang mengerikan! Mereka tidak berhenti menatap kemari! Bagaimana kalau Zac ternyata dibunuh salah satu dari mereka! Mungkin kita berikutnya!”

Ibu berjalan ke dekat jendela, membuka sedikit gordennya, kemudian menatapku dengan menaikkan sebelah alisnya, “coba kau kesini dan lihat lagi...”

Aku tak percaya apa yang sedang kulihat. Orang-orang itu tampak seperti orang normal, seperti orang normal yang memakai kostum di sebuah festival pada umumnya; berkeliaran dan bergembira menghabiskan waktu mereka mengunjungi pondok-pondok kecil yang berisi kegiatan-kegiatan ritual tradisi atau semacamnya.

“Dengar, Hannah...” ibu menarik bahuku, kemudian menepuk-nepuknya dengan lembut, “kau hanya sedang tegang dan itu membuatmu tambah paranoid. Pikiranmu jadi kacau.” Ia diam sebentar kemudian melanjutkan, “apa kau masih sering mimpi buruk?”

“Tidak.”

“Apa kau masih sering lupa sedang berada dimana?”

“Tidak.”

“Apa kau masih sering berhalusinasi, Hannah?”

“Tidak.”

“Aku tau kau berbohong, istirahatlah sebentar dan minum obatmu!”

Aku bersumpah tidak membohonginya sama sekali. Tapi ibu terus memaksaku untuk meminum obat, bahkan ia membuatku tak bisa menolaknya.

***
Sekejap aku lupa tentang semua kejadian hari ini. Seolah itu semua hanya mimpi. Tubuhku pun terasa lebih rileks seperti air yang jernih memenuhi tempat ini, membalut tubuhku dengan lembut dan redam membius pendengaranku. Kemudian menyusup masuk, mengalir dan memenuhi tubuhku seakan melebur menjadi buih atau menyatu dengan partikelnya.

Sementara aku terduduk dengan tenang di depan meja rias, Ibu mewarnai seluruh kulitku yang tidak tertutup pakaian dengan cat putih dari bedak dan melapisi bibirku dengan lipstik berwarna raven kehitaman.

Aku mengiyakan sarannya tepat ketika ia bilang aku akan merasa lebih baik setelah bergabung dan menikmati perayaan festival. Ibu bilang aku harus sedikit menikmati hidupku. Entah kenapa kali ini pikiranku begitu ringan untuk setuju dengannya.

Usai kami berdandan dan berpakaian konyol, kami pun duduk bersama menikmati makan malam. Kali ini hanya kami berempat, ibu, Ivy, nenek dan aku, duduk dalam suasana yang ganjil; yang kudengar hanya diam dan yang kulihat hanya mereka bergerak dengan sangat hati-hati berusaha tak bersuara. Keadaan pun jadi semakin aneh ketika lamat-lamat suara ratapan itu terdengar lagi.

Tiba-tiba ibu berdiri dan membisikkan sesuatu yang tak bisa kudengar dengan jelas. Sesuatu yang basah dan berbau menyengat tumpah ke tubuhku setelahnya. Sontak aku pun berdiri dan menghindar ketika kulihat percikan api di ujung ekor mataku.

“Ini adalah tradisi keluarga, Hannah. Kau tidak boleh lari,” ucap nenekku sembari memegangi tanganku dengan lembut. Tatapan matanya memelas mengharap pengertianku. Aku pun berganti melirik ibu, menanti penjelasannya. Namun, ia hanya tersenyum dan tanpa belas kasih memukulku dengan punggung tangannya hingga aku tersungkur. Cepat-cepat ia menindih tubuhku dan mencekikku hingga nafasku tersekat. Nenek pun bergegas membantu dengan membawa tali dan pemantik api.

Kulihat Ivy hanya menatapku dengan sinar matanya yang nanar, entah apa yang sedang ia pikirkan. Tampaknya ia bersikap seperti tidak melihat apa-apa.

Disaat yang bersamaan aku mendengar suara langkah yang tegas mendekat...

Untuk sekian detik semuanya terasa begitu cepat, terekam baik dalam slowmotion; Orang-orang asing itu medobrak masuk pintu depan dan memergoki keluargaku mencoba membakarku hidup-hidup. Tanpa pikir panjang, salah satu dari mereka yang membawa senapan berburu membidik kepala ibuku tepat di depan mataku, kemudian membiarkan nenekku sekarat dengan luka tembak di ulu hatinya. Anehnya mereka menyisakan Ivy. Seperti tak menghiraukannya, mereka membiarkannya membeku tanpa empati melihat keluarganya di bantai sampai mati.

Beberapa dari mereka membawaku keluar dengan paksa. Terlihat segerombolah orang berkostum mengelilingi rumahku, menontonku diinjak ke tanah. Aku pun meronta sekuat tenaga mencoba melepaskan diri dari belenggu cengkeraman tangan mereka yang erat. Namun semakin aku berusaha semakin mereka menyiksaku. Salah seorang pria mendekat dan membanting tubuhku, kemudian disusul yang lainnya memelintir pergelangan tangan dan kakiku hingga berkertak. Suara teriakan itu lepas dari tenggorokanku, melolong keras dengan nada kesakitan.

Salah seorang wanita mendekat ketika tubuhku tak lagi bisa berkutik, ia menjejalkan cairan yang berwarna putih keruh ke mulutku.

***
Aku terbangun dalam keadaan telanjang dan terikat di tengah kerumunan yang berpakaian seperti penganut sekte sesat dengan jubahnya yang menutupi penampakan mereka. Suara ratapan itu bersaut-sautan dari mulut ke mulut, mengisi atmosfir yang berat dalam suasana yang mengerikan. Orang-orang aneh ini mulai bergerak mengitariku dalam irama yang teratur, mengubah mantra yang mereka rapalkan menjadi hentakan-hentakan nada yang mengintimidasi.

Salah seorang mendekat ketika mereka berhenti dan diam dengan hikmat. Perempuan itu membuka tudung kepalanya, memperlihatkan wajah sialannya yang ternyata kakakku sendiri. Ivy menarik rambutku, menghadapkan wajahku mendongak ke mukanya yang masih membeku tanpa ekspresi itu, kemudian ia menjejalkan sesuatu ke mulutku. Saat itu aku sadar aku tak bisa merasakan apapun ketika sesuatu jatuh begitu saja keluar melewati bibirku. Ivy baru saja memotong lidahku dan mewadahi darah yang bercucuran dengan sebuah cawan perak, kemudian meminumnya tanpa ragu.

Setelah itu Ivy pun mundur dan bebera orang pria melangkah maju menggantikannya. Aku mencoba berteriak memanggil bedebah itu ketika ia menghilang ditelan kerumunan, namun suaraku tak bisa keluar, yang terdengar hanya suara seperti tercekik dari tenggorokanku.

Mereka pun merebahkan tubuhku, menghadapkanku pada mata pisau pemotong raksasa di atas sana yang siap membagi tubuhku menjadi dua.

Aku tak pernah mengira aku akan mati seperti ini...

Suara lesutan tali pengikat yang dipotong pun terdengar, disusul bunyi lempengan besi yang tajam bergesekan dengan udara. Mataku melihat benda itu jatuh dengan cepat...


Comments

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III