Midnight Madness : Hiatus

Kurasa tubuhku terurai dan tepecah belah di luar angkasa, kesadaranku melayang entah kemana dan dadaku merasakan hal monoton paling manis yang disebut normal. Semuanya baik-baik saja karena aku tidak merasakan apapun, pikiranku terlalu sibuk untuk merespon. Mengapung di permukaan dan membiarkan jasadku hancur tenggelam. 

Aku menyeberangi portal dimensi menuju kenyataan lain. Memisahkan kesadaranku dari dunia nyata setelah bunyi debam yang biasanya menggema kini berhenti tanpa tanda. Semuanya lenyap begitu saja. Hingga mataku terbuka dan mendapati diriku terbangun di tempat yang gelap dengan cahaya remang-remang. Sebuah ruangan tanpa dinding batas, tanpa atap, yang ada hanya lantai basah tergenang air disemua penjuru tempat. 

Aku pulang. 

***

Yang paling aku rindukan dari tempat ini adalah pebatasan di ujung pintu taman labirin. Sebuah jurang yang memisahkan dataran suram dan gelap di ujung sana dengan tanah di rumahku. 

“Kau tidak pernah bilang ada apa di sana?” Tanyaku menyelidik. 

Ia tertawa jenaka, “kalaupun kau tau, kau akan segera lupa, Hannah.” Ia segera melanjutkan, “justru aku tahu segalanya darimu.” 

Omong kosong yang ia bicarakan hanya melewatiku. Mataku terpaku menatap dalam-dalam ke tanah tak berpenghuni itu hingga pikiranku lelah dan kuputuskan untuk mengabaikannya. Kakiku pun melangkah ke dalam menelusuri setiap lorong, menatap setiap lukisan di dinding yang ku buat. Ingatanku tidak pernah membuatku tersesat di tempat ini karena aku sendiri yang membuat jalurnya. 

“Kau mau menyelesaikan lukisanmu?” Kurasa ia tau kemana aku akan pergi. 

“Ya.” 

Kami sampai di ruang pusat labirin. Dinding melingkar yang mengelilingi tempat ini masih dirambati bunga-bunga yang tumbuh dengan subur. Udara kembali berhembus setelah berhenti selama dua tahun, tempat ini hanya hidup ketika aku berdiri di tanahnya. Kanvas terakhir yang kutinggalkan pun masih tak berpindah dari dudukannya. 

Aku suka melukis warna, aku tidak pernah menentukan bentuk. Warna favoritku adalah ungu gelap dan biru gelap. Lukisanku tidak menceritakan sebuah peristiwa, melainkan cat yang kugores menorehkan perasaan. Sinestesia lah yang akan menceritakannya. 

“Kau menggambar dua sisi yang kontras? Apa artinya?” 

“Entahlah.” 

“Apa judulnya?” 

“Kau ingat tanggal kematianku?” 

“Ya.” 

Aku mengangguk dengan mata terpejam dan senyum datar. 

***

Kami duduk di latar sebuah rumah kabin di antah berantah. Padang rumput kering mengelilingi kami, semakin terasa gersang kala langit cerah. Sementara lubang hitam di atas sana tak berkomentar tentang cuaca, selalu bergeming di tempatnya dengan sudut pandang yang janggal. 

“Kita harus pergi...” ajaknya. 

Ia benar, aku harus segera pergi, atau seseorang akan mati kehabisan waktu. Aku sudah menunggu waktuku selama bertahun-tahun, sudah lama kami tak bertemu walau hanya sekadar menyapa. 

Kami berdua pun membuka pintu masuk kabin dan mendapati sebuah dermaga membentang di depan. Sebuah sekoci terikat dan mengapung di danau. Gadis yang serupa dengan wajahku itu menuntunku menyeberang melewati danau dengan perahu kecil ini. 

Aku selalu suka kembali ke sini ketika segalanya terasa berat membebani punggungku hingga membuatku sakit kepala. Mataku akan terpejam membayangkan diriku duduk di dermaga bersama pria yang ku suka, ditengah cuaca mendung dan berkabut seperti setiap siang aku menatapnya di balkon rumahnya tengah menikmati hal yang sama. Ia tampak sangat menyejukkan, membuatku jatuh dalam khayal. Membayangkan sewaktu-waktu kami duduk disana, ia memelukku dengan takut dan khawatir, sedang aku mengecup bibirnya yang pucat dengan penuh kasih. 

“Hannah, ayo...” suara gadis itu menyadarkanku untuk segera beranjak. Kami telah sampai di seberang. 

Langkah kami bergegas menuruni bukit melewati kota kecil sebelum kami sampai di tempat tujuan. Tempat ini adalah surga dimana tak ada tekanan dari setiap pasang mata, karena yang paling spesial orang-orang tak melihat untuk menghakimi, mereka tersenyum tanpa sempat menilai, berbicara bijak tanpa memerhatikan. Alasannya hanya satu, tak ada satu pun manusia punya bola mata kecuali aku, liang mata mereka kosong. Kendati begitu, hati mereka penuh dengan kedamaian. Aku bahkan tak segan mengobrol dengan pengunjung cafe, mereka sangat ramah dan baik. Kami membicarakan banyak hal seperti, musik dan buku, atau cuaca dan kiamat. 

Setelah kurang lebih dua kilo menjauh dari kota sampailah kami di tempat tujuan. Awan mendung menyelimuti langit, udara sejuk berhembus berpusat di bawah lubang hitam di angkasa, suara air sungai yang gelap bergemercik di bawah jembatan. Sementara di seberang sana berdiri sebuah mansion besar yang  kokoh dimana kami dibesarkan. 

Mataku terpejam memberiku kesempatan untuk menarik diri dan menyiapkan batin. 

“Ayo, Hannah! Sebelum kita kehabisan waktu.” Gadis yang sedari tadi bersamaku pun mengulurkan tangannya untuk membimbingku. 

Aku berjalan memasuki rumah yang tak pernah kujamah, agak aneh ketika kembali. Semuanya terasa berbeda, seluruh ruangan terasa dingin dan gelap, perabotan diselimuti debu dimana-mana, seperti tak pernah dihuni selama bertahun-tahun. Sejak kapan tempat ini jadi sesuram ini? 

“Dimana dia?” Tanyaku tak mencium keberadaan penghuni rumah ini. 

Tiba-tiba ia menatapku dalam-dalam dengan pandangan prihatin, “ikut aku.” 

Kakiku membuntuti langkahnya menuruni basement. Bahkan sebelum sampai di ujung tangga aku bisa mendengar teriakkan gadis yang ingin ku kunjungi. Aku tak mengira akan jadi begini, kendati sebenarnya aku tahu apa yang terjadi.

Ia menahan tuas pintunya sebentar, tahu benar ia tak perlu mengatakan apa-apa, hanya memastikan jika aku sungguh siap menyeberang. Aku pun mengangguk memberi tanda. 

Derit pintu baja terdengar ketika dibuka. Telingaku kembali mendengar teriakkan kesakitan dan rintihan. Aku bisa melihat matanya yang gelap karena amarah sekaligus didera kesedihan. Ia kehilangan sebelah tanduknya, sisi kiri sayapnya tercabik-cabik dan bercak darah mewarnai tubuhnya yang diikat kuat dengan rantai. Gadis itu terkesiap melihatku kembali, ia pun menunjukkan taringnya dan meronta. Kiranya ia tak menyangka jika ini akhirnya. 

“Hai, Hannah. Lama tak berjumpa,” sapaku.


Comments

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III