Midnight Madness : Refraction pt. II

*previous : Midnight Madness : Refraction pt. I

Pria itu masih di sana terdiam di sekitar jendela, mengintai. Tubuhnya membentuk siluet yang meninggalkan warna gelap. Entah yang kulihat itu punggungnya ataukah tampak depannya. Aku tetap tak dapat melihat wajahnya walaupun kilat cahaya menyambar. Malah mungkin ia yang melihatku, karena laki-laki itu seketika bergerak mendekat ke pintu.

Jantungku berdetak sekali sangat kencang membuatku menggelinjang kaget dan berdiri kemudian segera berlari ke tangga. Pria itu mencoba membukanya dengan mengungkit-ungkit tuas, bunyi berdecit beruntun terdengar. Apa dia berusaha masuk tanpa merusak pintunya? Maksudku, bukankah dia membawa kapak?

Langkah kaki Ivy yang kencang terdengar, menyusulku dari dapur. Ia memberiku sebuah pisau, “hanya ini yang kudapat,” sembari menunjukkan miliknya yang lebih besar, tepatnya pisau daging.

“Ivy, kau tahu kenapa polisi belum juga menangkap pembunuh berantai itu?” aku hanya berspekulasi.

Kakakku tak menghiraukan ucapanku, ia bergerak mundur setelah mengunci pintu kamar yang kami masuki.

“Kurasa pembunuhnya melakukannya dengan bersih,” pikirku, karena ia tak berusaha merusak pintu untuk menerobos masuk. Tapi tunggu, kenapa dia membawa kapak? Pembunuh yang berhati-hati tidak akan menghancurkan korbannya dengan kapak.

“Hal yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan diri, detektif,” ucapnya geram, memanggilku ‘detektif’ untuk menyindirku dan menegaskan itu bukan hal yang penting untuk kita urusi.

Kami terkungkung di dalam sini sebagai tahanan dari pikiran kami sendiri dengan berasumsi diluar terlalu berbaya untuk melawan, bisa-bisa kami terbunuh karenanya. Mengurung diri dengan memblokir pintu keluar dengan meja, kursi, dan barang-barang lain hingga bertumpuk untuk menahan pintu supaya tidak terbuka dari luar.

Hujan masih mengguyur, kali ini lebih tenang, petir tak lagi menyambar bertubi-tubi, namun kilat cahaya sesekali mengiringi. Malam semakin larut dalam hitungan waktu, ponselku mulai kehabisan daya pada pukul dua pagi. Sehingga kami mematikan pencahayaan dari sana dan duduk bersandingan dalam kegelapan yang mengiringi rasa lelah, menggoda untuk tertidur. Kurasa aku sempat terlelap beberapa saat.

Aku mulai menggigil lagi, Ivy segera memberi pertolongan pertama dengan memelukku, “Ivy, aku takut,”—jujur saja—Bagaimana kalau kita mati malam ini. Tak ada yang menemukan mayat kami karena tak ada yang mencurigai rumah kosong ini. Pembunuhnya tak akan pernah tertangkap karena ia melakukannya dengan bersih.

Telingaku hanya mendengar respon isakkan dari bibir Ivy. Ia menahannya sedari tadi, kali ini tak bisa lagi.

Brak! Brak! Brak!

Seketika Ivy menggelinjang siaga, kami perlahan menjauh dari pintu. Suara derak yang keras itu terdengar terus menerus, bersumber dari lantai bawah. Seperti sesuatu saling dihantam, mungkin lebih tepatnya dihancurkan. Pria pembunuh itu telah masuk ke dalam rumah!

Jika dia menghancurkan barang-barang, berarti ini bukan pembunuhan yang direncanakan dengan rapi. Apa yang harus kita lakukan untuk melawan?!  Lagi-lagi perasaan itu membekukan kerja otakku, aku tak dapat memikirkan apapun. Kita sudah memblokir diri kita sendiri di sini!

Duk! Duk! Duk!

Suara di tangga terdengar, kurasa pembunuh itu berjalan ke lantai dua. Bayangan ajal seolah mengiringi langkahnya.

BRAK!

Kepala kapak itu mengintip dari sela-sela retasan yang dibuatnya di tengah daun pintu. Aku segera menutup mulut Ivy ketika ia hendak berteriak. Keadaan terhimpit selalu memunculkan akal. Jantungku kembali memacu kecepatannya, denyutnya sampai menggetarkan pikiranku dan menggentarkan otot nyaliku.

Jendela!—Berpikir cepat—Dua tempat?! Melompat keluar akan memancingnya keluar, lagi-lagi ia akan mengejar—kemungkinan besar—Lebih baik mengelabuinya. Aku segera membuka jendela, membuatnya mengira seolah-olah kami kabur lewat lubang di dinding itu. Sedangkan kami bersembunyi di bawah ranjang.

Sistem tubuh mengirim pesan terancam ke otak, semakin menjadi ketegangan dan kengerian ini seiring dentuman kapak itu menghancurkan pintu.

BRAK!

Pria itu mendobrak masuk dengan satu dorongan di pintu, menyingkirkan semua blokade yang menghalanginya. Pria bayangan melangkah dengan santai, bootnya yang berat dan basah meninggalkan bunyi decak setiap kali ia melangkah mendekati jendela yang terbuka.

Ayolah keluar! Kenapa kau diam saja di sana sambil menatap hujan. Pergilah!

“Gadis pintar.”

Siluet kepalanya menoleh ke persembunyian kami, ia melirik ke kolong bawah ranjang tanpa beranjak. Ucapannya benar-benar menghancurkan nyaliku serta harapanku untuk hidup. Jantungku semakin berdegub kencang, sesuatu terasa mengaduk-aduk perutku, sedangkan kepalaku kembali bekernyut.

Aku segera melompat keluar dengan nekat (melawan untuk mempertahankan hidup kami), toh manusia keji ini sudah mengetahui persembunyian kami. Menunggunya datang membunuh atau melawan dengan kesempatan? Pisau yang sedari tadi kusimpan melesat dengan satu libasan tanganku.

Klontang!

Pisau kecil itu melewatinya, meleset, mengenai kusen jendela kemudian terbang ke sembarang arah. Tubuhku yang kecil memudahkanku bergerak dengan gesit, aku segera menyambar pisau daging yang di tenteng Ivy, membidik sasaran. Tepat! Pisau besar itu bersarang di punggungnya.

“Ivy! Lariii!!!”

Kakakku segera lari kalang kabut keluar dari persembunyiannya.

Hawa itu lagi-lagi merayapiku, memberiku efek stress yang tak dapat kukendalikan. Langkahku dihentikan dengan paksa, tepatnya tubuhku ditarik. Cengkraman tangan yang besar dan kuat di pergelangan tanganku itu mengalirkan sengatan ke jantungku. Semakin menggila nalarku, pikiran kacau entah kemana. Malam ini akan berakhir dengan tragis.

Pria bayangan yang tubuhnya serba hitam, bahkan cahaya tak dapat menampakan wajahnya, itu hanya perlu menjinjing tubuhku dengan satu tangan. Ia dengan cepat meraih leherku dengan kasar, kemudian menjeratnya dengan sangat kuat. Oksigen perlahan berhenti mengalir ke otakku, saluran nafasku dihentikan paksa, perasaan sesak membakar dadaku.

Mencoba melawan dengan sisa tenagaku, tapi itu hanya terlihat seperti aku mengais-ngais tangannya. Tidak sanggup lagi.... tiba-tiba aku sangat lelah dan mulai mengantuk.

Samar-samar terlihat Ivy berlari mendekat, dengan kecepatan yang tidak kumengerti karena penglihatanku melemah (Ia tampak melompat saja dan ada di sana), menusuk dengan nekat tangan yang mencekiku.

Wajahku memanas seketika saat pria itu melepas tangannya dan mundur kesakitan. Sesuatu mendesak tenggorokanku bertubi-tubi hingga aku terbatuk, kakiku membawaku menyingkir dengan gontai, rasanya seperti tenagaku habis terkuras. Aku benar-benar tidak bisa lagi, aku hanya ingin terhenyak berhenti tanpa melakukan apapun, rasa lelah ini mengendalikan tubuhku.

Argh!” Aku melihat pria itu menyodok perut Ivy dengan gagang kapak dan menendangnya.

Laki-laki itu mulai goyah, ia berjalan dengan lunglai, tusukkan di  punggungnya mulai menyiksanya. Ia berjalan keluar, menyerah.

“I..Iv-vy...” aku melihat Ivy tak bergerak di sudut sana. Kesadaranku mulai meninggalkanku dalam gelap.




Comments

Popular posts from this blog

Midnight Madness : Igneses

Midnight Madness : Compulsion

Midnight Madness : Refraction pt. III