Midnight Madness : Refraction pt. III
*previous : Midnight Madness : Refraction pt. II
Aku tersadar dengan Ivy disampingku, menyandarkan kepalaku ke bahunya. Memerhatikan ke sekeliling. Tak ada kekacauan apa pun. Kami masih di rumah peninggalan ayah, di kamar lantai dua, jendela masih terkunci rapat (sedangkan sebelumnya aku membukanya), pintu masih diblokir tanpa kerusakan.
Ivy, aku takut...
Suara itu menggema entah dari mana. Suaraku?! Aku tidak akan pernah membuka mulut untuk mengatakan hal semacam itu. Ivy duduk meringkuk di sampingku dengan gemetar, masih sama terguncangnya.
Duk! Duk! Duk!
Suara debam di tangga terdengar. Apa pria bayangan itu lagi? Bagaimana mungkin?!
Ivy menarikku bersembunyi di kolong ranjang.
“Anak-anak, apa kalian di dalam?!”
Apa?! Apa yang baru saja di katakannya?! Suara pria asing itu seolah memukul kepalaku dengan keras. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Sekarang pukul 04.20 pagi. Aku tidak melewatkan apapun, tapi kenapa ini terasa seperti melompat ke plot lain?
Seseorang dari balik pintu itu tak mencoba mendobraknya, ia masuk dengan mendorong-dorong barang-barang yang menghalangi. Tubuh besarnya dipaksanya masuk melalui celah yang diusahakannya terbuka.
Aku menyalakan senter dari ponselku. Pria tua berkulit gelap itu mengenakan baju tebal dan sepatu boot, proporsi tubuhnya sama persis dengan pria bayangan yang memburu kami tadi malam.
Ia ikut menggelosor ke lantai menilik kami. “Jangan takut, anak-anak. Kalian aman sekarang.”
Aku menelan ludah tak percaya, fantasiku lagi-lagi berkelana ke tempat gelap, prasangka buruk seperti kematian. Bagaimana jika orang ini akan membunuh kita?
“Kalian tidak ingat aku? Aku Jack, tetangga kalian sebelum kalian pindah. Aku yang menjual properti kayu pada ayah kalian lima tahun lalu,” Ia tersenyum ramah dan lebar meyakinkan.
Aku ingat sekarang, Ia benar paman J. Orang yang selalu terkesan aneh buatku, sesekali ia sangat ramah dan baik (seperti tidak memiliki ego, ia selalu mendahulukan orang lain), namun tak jarang juga ia murung, agak pemarah dan banyak diam.
Kami pun keluar dari kolong berdebu itu.
“Aku sudah membunuh buronan itu, jangan khawatir.”—Apa?!—“Kalian harus hati-hati lain kali,” Ia berdiri hendak pergi. Ia benar-benar melangkah keluar terburu-buru, “aku harus pergi. Sampai jumpa.”
Ivy terduduk dengan pasang mata terbelalak, kurasa Ia shock.
Aku ikut duduk di sampingnya. Turut memikirkan kejadian yang tak sampai nalar.
“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi?” bisiknya.
Ya aku lebih tidak mengerti, pintu kamar ini tidak rusak sama sekali. Ingatan mengerikan tadi malam terasa sangat jelas. Itu terjadi sekitar jam tiga lebih tapi sekarang pukul lima lebih dan semuanya baik-baik saja. Tidak masuk akal.
Mataku melirik jendela yang menghadap ke timur langsung itu (tak ada seorang pun yang menutup jendela itu sebelumnya, tapi sekarang jendela itu tertutup rapat), sinar matahari tampak kemerahan di kaki langit. Hujan telah reda, mendung mulai menyingkir, langit biru merefleksikan cahaya dan malam menghilang setelah membelokkan waktu.
***
Kakiku membimbingku berkeliling, memenuhi hasrat penasaran pikiranku. Tak ada bekas darah di lantai (aku baru saja teringat kami menyerang pembunuh itu tadi malam dengan pisau, tapi aku tak benar-benar melihatnya berdarah). Melangkah lebih jauh, semakin mencengangkan yang terlihat, isi rumah benar-benar rapi, tak ada satu furnitur pun yang rusak (padahal jelas sekali tadi malam kudengar pembunuh itu menghancurkan barang-barang).
“Masih tak ada signal sama sekali, kita harus menelepon ibu dan polisi.” Ivy melangkah mendahuluiku dengan terburu-buru. Namun Ia tiba-tiba berhenti di depan lubang pintu ruang dapur, tangannya terangkat menutup mulutnya sendiri seraya terbelalak. Aku segera berlari mendekat.
Ini semakin tak wajar. Tubuhku kembali bergetar menatap mayat seseorang yang sangat jelas parasnya, seseorang yang baru saja kami lihat, paman Jack, tergeletak di dapur. Kejadian ganjil terakhir meninggalkan memori mengerikan yang membuat sakit kepala. Keadaannya benar-benar buruk, Ivy merespon dengan suara mual dari mulutnya, ia segera berbalik untuk menahan diri.
Tubuh tak bernyawa itu terkulai begitu saja di depan kulkas, meninggalkan bekas darah di pintunya yang berwarna putih. Pergelangan tangan kirinya putus (kubangan darah masih menggenang di lantai yang mengalir dari lukanya), kepalanya terkulai dengan ganjil (kurasa lehernya patah). Aku menelan ludah setelah memerhatikannya dengan seksama, ada bekas luka tusukan di tangan kanannya (memicuku mengingat kejadian tadi malam dimana Ivy menusuk tangan kanan pria bayangan), aku berjalan perlahan mendekat (meneriaki diriku bahwa ini tidak nyata, hanya spekulasi yang salah), bersumpah tidak akan menyentuhnya, lebih khawatir alih-alih kita berdua bisa jadi tersangka pembunuhan (walaupun itu tidak mungkin tentu saja dan tidak masuk akal), serangan tadi malam benar-benar membuatku merasa kacau, aku hanya ingin memastikan punggungnya...
“Hannah! Apa yang kau lakukan?!” Ivy mulai panik.
Sial benar, ada satu luka tusukan lebar di punggungnya, terlihat dari bajunya yang robek dan bekas darah di sana. Sebaiknya aku tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak akan mengatakan apa-apa!
Aku terlonjak kaget ketika Ivy menarikku mundur, “dengar, kau tunggu di sini. Jangan merusak TKP atau apapun. Aku akan keluar untuk menelepon polisi.” Ivy mengguncangku karena aku hanya menatapnya kosong, “kau dengar aku?!”
Aku beralih menatapnya normal, kemudian mengangguk.
Ivy segera berlari keluar setelah puas dengan responku, mencari telpon umum—mungkin—atau berjalan keluar mencapai signal.
***
Rumah peninggalan ayah kini di segel dengan pita kuning dengan tulisan larangan melintas, setelah polisi berduyun-duyun datang.
“..kami juga membutuhkan kesaksian kalian... benar-benar sulit mencari buronan ini... dia sudah membunuh banyak orang...” polisi memberi keterangan pada kakakku, juga rasa terimakasihnya telah membantu walaupun hanya dengan menelepon.
Suara itu hanya hilir mudik masuk telingaku. Bibirku kelu. Tubuhku membeku mendengar keterangan polisi yang tak sanggup ku nalar.
Aku terus teringat wajah Ivy yang terbelalak mendengar bahwa paman Jack adalah buronan yang dicari-cari selama ini, pria bayangan, si pembunuh berantai.
Bang Jack đ±
ReplyDelete